Minggu, 27 Maret 2016

Uwais Al-Qarni : “Saya bersumpah kepada Anda wahai Amriul Mukminin agar engkau tidak melakukannya. Biarkanlah saya berjalan di tengah lalu lalang banyak orang tanpa dipedulikan orang.”

  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bercerita mengenai Uwais al-Qarni tanpa pernah melihatnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia seorang penduduk Yaman, daerah Qarn, dan dari kabilah Murad. Ayahnya telah meninggal. Dia hidup bersama ibunya dan dia berbakti kepadanya. Dia pernah terkena penyakit kusta. Dia berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalu dia berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalu dia diberi kesembuhan, tetapi masih ada bekas sebesar dirham di kedua lengannya. Sungguh, dia adalah pemimpin para tabi’in.”


Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, “Jika kamu bisa meminta kepadanya untuk memohonkan ampun (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala) untukmu, maka lakukanlah!”
Ketika Umar radhiyallahu ‘anhu telah menjadi Amirul Mukminin, dia bertanya kepada para jamaah haji dari Yaman di Baitullah pada musim haji, “Apakah di antara warga kalian ada yang bernama Uwais al-Qarni?” “Ada,” jawab mereka.
Umar radhiyallahu ‘anhu melanjutkan, “Bagaimana keadaannya ketika kalian meninggalkannya?”
Mereka menjawab tanpa mengetahui derajat Uwais, “Kami meninggalkannya dalam keadaan miskin harta benda dan pakaiannya usang.”
Umar radhiyallahu ‘anhu berkata kepada mereka, “Celakalah kalian. Sungguh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bercerita tentangnya. Kalau dia bisa memohonkan ampun untuk kalian, lakukanlah!”
Dan setiap tahun Umar radhiyallahu ‘anhu selalu menanti Uwais. Dan kebetulan suatu kali dia datang bersama jemaah haji dari Yaman, lalu Umar radhiyallahu ‘anhu menemuinya. Dia hendak memastikannya terlebih dahulu, makanya dia bertanya, “Siapa namamu?”
“Uwais,” jawabnya.
Umar radhiyallahu ‘anhu melanjutkan, “Di Yaman daerah mana?’
Dia menjawab, “Dari Qarn.”
“Tepatnya dari kabilah mana?” Tanya Umar radhiyallahu ‘anhu.
Dia menjawab, “Dari kabilah Murad.”
Umar radhiyallahu ‘anhu bertanya lagi, “Bagaimana ayahmu?”
“Ayahku telah meninggal dunia. Saya hidup bersama ibuku,” jawabnya.
Umar radhiyallahu ‘anhu melanjutkan, “Bagaimana keadaanmu bersama ibumu?’
Uwais berkata, “Saya berharap dapat berbakti kepadanya.”
“Apakah engkau pernah sakit sebelumnya?” lanjut Umar radhiyallahu ‘anhu.
“Iya. Saya pernah terkena penyakit kusta, lalu saya berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga saya diberi kesembuhan.”
Umar radhiyallahu ‘anhu bertanya lagi, “Apakah masih ada bekas dari penyakit tersebut?”
Dia menjawab, “Iya. Di lenganku masih ada bekas sebesar dirham.” Dia memperlihatkan lengannya kepada Umar radhiyallahu ‘anhu. Ketika Umar radhiyallahu ‘anhu melihat hal tersebut, maka dia langsung memeluknya seraya berkata, “Engkaulah orang yang diceritakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mohonkanlah ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untukku!”
Dia berkata, “Masa saya memohonkan ampun untukmu wahai Amirul Mukminin?”
Umar radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Iya.”
Umar radhiyallahu ‘anhu meminta dengan terus mendesak kepadanya sehingga Uwais memohonkan ampun untuknya.
Selanjutnya Umar radhiyallahu ‘anhu bertanya kepadanya mengenai ke mana arah tujuannya setelah musim haji. Dia menjawab, “Saya akan pergi ke kabilah Murad dari penduduk Yaman ke Irak.”
Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Saya akan kirim surat ke walikota Irak mengenai kamu?”
Uwais berkata, “Saya bersumpah kepada Anda wahai Amriul Mukminin agar engkau tidak melakukannya. Biarkanlah saya berjalan di tengah lalu lalang banyak orang tanpa dipedulikan orang.”
Sumber: Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah, Pustaka Arafah Cetakan 1
Artikel www.KisahMuslim.com

Alhamdulillah jika memang benar kamu Terasing karena menegakkan Agama Allah Ta'ala,,

SUATU KETERASINGAN DI TENGAH KERAMAIAN

—oOo—
 

Keterasingan di tengah keramaian adalah suatu fenomena yang kini sudah tidak asing lagi di tengah-tengah manusia di mana kebanyakan manusia berbuat kerusakan maka segelintir manusia berbuat perbaikan. Di antara kerusakan itu ialah:

Pinjam-meminjam dengan cara Riba seakan-akan menjadi mu’amalah yang mubah -waliya’udzubillaah-
Menjalin hubungan perasaan (cinta) terlarang seakan-akan bukan lagi suatu kemaksiatan -waliya’udzubillaah-
Menggunakan Pakaian Muslim seakan-akan menjadi suatu kejanggalan dan keanehan di mata masyarakat muslim sendiri -subhaanallaah-
Mendengarkan Al-Qur’an dan membacanya menjadi suatu yang mengganggu tetangga padahal tetangga yang menyetel musik sekeras-kerasnya tidak menjadi suatu gangguan -Subhanallaah-
Ketika seseorang berbuat amar ma’ruf nahi munkar seolah-olah ia menjadi pahlawan kesiangan yang tidak berarti di tengah manusia -Subhanallaah-
Ketika seseorang berusaha menegakkan Sunnah Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ejekan dan celaan pun ditujukan padanya dianggapnya “sok religius loe” -Subhanallaah-
Ketika segelintir da’i menyerukan kepada Tauhid menjauhi Syirik, menyerukan kepada As-Sunnah dan menjauhi Bid’ah maka masyarakat pun menolaknya dan bahkan menentang serta mengusirnya karena bertolak-belakang dengan tradisi dan adat setempat -Subhanallaah-
Ketika banyak da’i yang mengajak kepada kesesatan dengan wujud kebaikan serta tidak bertentangan dengan budaya dan tradisi masyarakat maka da’i-da’i itu pun mendapatkan posisi yang tertinggi dan dielu-elukan bahkan bisa sampai disembah-sembah oleh masyarakat. -waliya’udzubillaah-
Betapa banyaknya manusia bermain Riba di Bank
Betapa sedikitnya manusia bersabar atas kekurangan harta
Betapa banyaknya manusia berpacaran
Betapa sedikitnya manusia ta’aruf syar’i
Betapa banyaknya manusia menanggalkan jilbab syar’i
Betapa sedikitnya manusia berpakaian telanjang
Betapa banyaknya manusia berjoget-joget sambil bernyanyi
Betapa sedikitnya manusia duduk membaca Al-Qur’an
Betapa banyaknya manusia mendukung kemaksiatan
Betapa sedikitnya manusia mendukung ketaatan
Betapa banyaknya manusia membiarkan kemudharatan
Betapa sedikitnya manusia mencegah kemudharatan
Sesungguhnya kesemuanya ini adalah suatu keadaan yang telah diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak dahulu dan ternyata keadaan itu sedang berlangsung di masa kini di mana kesemuanya itu menjadi suatu fenomena yang pahit bagi Al-Ghuraba di mana Al-Ghuraba menjadi segelintir kaum muslimin yang minoritas dan terasing di tengah-tengah kepadatan masyarakat.
—oOo—
Tanya:
Lalu Siapakah Al-Ghuraba ?
Jawab:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
بَدَأَ الْإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا، فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ- زاد جماعة من أئمة الحديث في رواية أخرى- قِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، وَمَنِ الْغُرَبَاءُ؟ قَالَ: الَّذِينَ يُصْلِحُونَ إِذَا فَسَدَ النَّاسُ
“Islam berawal dengan keasingan dan akan kembali asing sebagaimana mulanya, maka beruntunglah Al-Ghuraba.”[HR. Muslim] dalam riwayat lain terdapat tambahan: Ditanyakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, siapakah al-Ghuraba’?” Beliau menjawab, “Orang-orang yang melakukan perbaikan saat manusia rusak.”
Al-‘Allamah Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baaz rahimahullaahu ta’ala menerangkan makna Al-Ghuraba yaitu:
فالمقصود أن الغرباء هم أهل الاستقامة، فطوبى للغرباء، أي الجنة والسعادة للغرباء الذين يصلحون عند فساد الناس، إذا تغيرت الأحوال، و…… الأمور، وقل أهل الخير، ثبتوا هم على الحق، واستقاموا على دين الله، ووحدوا الله، وأخلصوا له في العبادة، واستقاموا على الصلاة والزكاة والصيام والحج وسائر أمور الدين، هؤلاء هم الغرباء وهم الذين قال الله فيهم وفي أشباههم
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ * نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ -أي ما تطلبون- نُزُلًا مِّنْ غَفُورٍ رَّحِيمٍ[فصلت: 30-32]. ف
فالإسلام بدأ غريباً في مكة لم يؤمن به إلا القليل، وأكثر الخلق عادوه وعاندوا النبي -صلى الله عليه وسلم-، وآذوه -عليه الصلاة والسلام-، وآذوا أصحابه الذين أسلموا، ثم انتقل المدينة مهاجراً وانتقل معه من قدم من أصحابه، وكان غريباً أيضاً حتى كثر أهله في المدينة وفي بقية الأمصار، ثم دخل الناس في دين الله أفواجاً بعد أن فتح الله على نبينا مكة -عليه الصلاة والسلام-.
Adapun Maksud dari (Al-Ghuraba) ialah orang-orang yang beristiqamah. (Maka beruntunglah Al-Ghuraba) yaitu: (disediakannya) Surga dan Kebahagiaan bagi Al-Ghuraba yang mereka itu memperbaiki orang-orang yang berbuat kerusakan disaat keadaan dan segala urusan telah berubah (menjadi rusak) dan dikatakan juga sebagai Ahlul Khair (orang-orang yang berbuat kebaikan) teguh di atas kebenaran dan konsisten di atas Agama Allah serta mentauhidkan Allah dan mengikhlaskan peribadahan hanya untuk-Nya, dan mereka juga istiqamah dalam Shalat, Zakat, Puasa, Haji dan seluruh perkara-perkara Agama dan mereka itulah yang dinamakan Al-Ghuraba. mereka (Al-Ghuraba) dan semisalnya yang disebutkan dalam Firman Allah ta’ala:
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” Kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang Telah dijanjikan Allah kepadamu. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Fushilat: 30-32)
Islam itu dimulai dengan keterasingan di Makkah dan tidak ada yang beriman terhadapnya kecuali sedikit sekali dan kebanyakan manusia sangat memusuhinya dan memusuhi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan mengganggu beliau ‘alaihish shalaatu was salaam dan juga para shahabatnya yang telah memeluk Islam yang kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta kaum Muhajirin dari kalangan para shahabatnya berpindah ke Madinah. dan keadaan mereka pun tetap asing hingga terdapat para pengikut beliau di Madinah dalam jumlah yang banyak dari kalangan Anshar dan kemudian orang-orang pun memeluk Agama Allah (Islam) secara berbondong-bondong setelah Allah ta’ala membukakan kota Makkah (Fathul Makkah) untuk Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam.[1]
Dengan demikian seorang yang terasing di tengah keramaian dikarenakan ia berusaha istiqamah dalam menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya dan teguh di atas Al-Haq (kebenaran) dan ittiba’ (mengikuti) petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas pemahaman para salafush shalih hendaknya janganlah merasa berkecil hati karena kondisi seperti ini sudah diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  dalam sabdanya dan mereka itu dikatakan “beruntunglah Al-Ghuraba” yang mafhum mukhalafah-nya adalah celakalah kebanyakan manusia yang mereka telah lalai dari kewajibannya karena tergiur oleh fitnah duniawi semata dan hal ini dapat diketahui sebagaimana Allah ta’ala telah menerangkan dalam firman-Nya Surat Al-‘Ashr bahwasanya seluruh manusia berada dalam keadaan yang merugi kecuali ia memiliki empat shifat dalam dirinya[2]. Semoga apa yang kami sampaikan ini bermanfaat bagi kami dan antum sekalian.
—oOo—
[Abul Jibrin: Tangerang Selatan, Ahad 15/09/2013, 10.30 AM]

  1. Sumber: http://www.binbaz.org./
  2. Baca juga artikel: Melepaskan Diri Dari Kerugian (Tafsir Surat Al-‘Ashr)

Jumat, 18 Maret 2016

Budaya Arab: Akhlak Masyarakat Arab Sebelum Islam

Di antara kebiasaan buruk atau budaya buruk masyarakat Arab jahiliyah adalah: Mabuk-mabukan dan Berjudi  Budaya buruk masyarakat Arab jahiliyah adalah akrab dengan mabuk dan perjudian. Dua kebiasaan buruk yang melahirkan keburukan lainnya. Allah ﷻ berfirman,
إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنْصابُ وَالأَزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS:Al-Maidah | Ayat: 90).
Masyarakat Arab jahiliyah terbiasa meminum khamr. Bagi mereka, minuman memabukkan itu layaknya air putih sebagai penghilang dahaga bagi kita. Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, ia berkata,
سَمِعْتُ أَبِي يَقُولُ فِي الجَاهِلِيَّةِ: “اسْقِنَا كَأْسًا دِهَاقً
“Aku mendengar ayahku di masa jahiliyah mengatakan, ‘Berilah kami minum dengan gelas-gelas penuh berisi minuman (khamr)’.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab Fadha-il ash-Shahabah, Bab Ayyamul Jahiliyah, No: 3627).
Yakni, Paman Nabi ﷺ, al-Abbas bin Abdul Muthalib, di masa jahiliyah meminta khamr sebagai minuman biasa.
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma, ia berkata,
خَطَبَ عُمَرُ عَلَى مِنْبَرِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ، ثُمَّ قَالَ: “أَمَّا بَعْدُ، أَلَا وَإِنَّ الْخَمْرَ نَزَلَ تَحْرِيمُهَا يَوْمَ نَزَلَ وَهِيَ مِنْ خَمْسَةِ أَشْيَاءَ مِنَ الْحِنْطَةِ، وَالشَّعِيرِ، وَالتَّمْرِ، وَالزَّبِيبِ، وَالْعَسَلِ
“Umar pernah berkhotbah di atas mimbar Rasulullah ﷺ. Ia memanjatkan puja-puji kepada Allah. Kemudian berkata, ‘Amma ba’du.. Ketauhilah sesungguhnya ayat yang mengharamkan khamr (minuman keras) telah diturunkan. Pada hari ayat itu turun, khamr terbuat dari lima hal: terbuat dari gandum halus, gandum kasar, kurma, anggur kering, dan madu’.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab at-Tafsir Suratul Maidah, No: 4343 dan Muslim dalam Kitab at-Tafsir, Bab fi Nuzuli Tahrimil Khamr, No: 3032).
Minuman kerasnya penduduk Madinah terbuat dari perasan kurma. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu mengatakan,
كُنْتُ سَاقِيَ الْقَوْمِ يَوْمَ حُرِّمَتِ الْخَمْرُ فِي بَيْتِ أَبِي طَلْحَةَ، وَمَا شَرَابُهُمْ إِلَّا الْفَضِيخُ: الْبُسْرُ وَالتَّمْر
“Aku pernah menuangkan khamr pada sekelompok orang di rumah Abu Thalhah. Hari itu adalah hari khamr diharamkan. Mereka (penduduk Madinah) hanya minum fadhih (minuman keras yang terbuat dari perasan kurma), kurma muda dan kurma masak.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab al-Asyribah, Bab Nazala Tahrimi al-Khamr wa Hiya min al-Busri wa at-Tamri, No: 5261 dan Muslim dalam Kitab al-Asyribah, Bab Tahrimi al-Khamr wa Bayan Annaha Takunu min ‘Ashir al-‘Inab wa min at-Tamr wa al-Busr, No: 1980. Lafadz ini adalah lafadz riwayat Muslim).
Sedangkan khamrnya penduduk Yaman adalah al-Bit’u. Khamr yang terbuat dari madu. Abu Musa al-Asy’ari mengatakan,
بَعَثَنِي رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَمُعَاذًا إِلَى الْيَمَن، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَفْتِنَا فِي شَرَابَيْنِ كُنَّا نَصْنَعُهُمَا بِالْيَمَنِ الْبِتْعُ؛ وَهُوَ مِنَ الْعَسَلِ، يُنْبَذُ حَتَّى يَشْتَدَّ، وَالْمِزْرُ وَهُوَ مِنَ الذُّرَةِ وَالشَّعِيرِ، يُنْبَذُ حَتَّى يَشْتَدَّ. فَقَالَ: “أَنْهَى عَنْ كُلِّ مُسْكِرٍ أَسْكَرَ عَنِ الصَّلاةِ
“Rasulullah ﷺ mengutusku dan Muadz menuju Yaman. Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, berilah fatwa kepada kami mengenai minuman yang biasa kami buat di negeri Yaman, yaitu al-Bit’u. Terbuat dari madu yang direndam hingga mengental’. Beliau bersabda, ‘Aku melarang segala sesuatu yang memabukkan dan dapat menghalangi dari shalat’.” (HR. Muslim dalam Kitab al-Asyribah, Bab Bayan anna Kulla Muskirin Khamrun wa anna Kulla Khamrin Haram, No: 2001).
Orang-orang Daylam biasa meminum khamr yang terbuat dari gandum (Muhammad bin Razaq bin Tharhuni, 1/121-122).
Perlu dicatat, walaupun orang-orang Arab jahiliyah sangat terbiasa minum khamr, tapi mereka tetap menganggap perbuatan ini tercela. Karena membuat kesadaran hilang dan meruntuhkan wibawa1.
Ada beberapa poin menarik mengamati hubungan masyarakat Arab jahiliyah dengan khamr. Ungkapan-ungkapan tentang khamr menunjukkan mereka pecandu berat khamr. Kalau kita hidup karena minum air putih, maka mereka mengungkapkan, ‘mereka hidup karena minum khamr’. Mereka sebut khamr sebagai minuman biasa. Seolah-olah dahaga sahara akan lenyap jika ada khamr. Karena itu, Alquran membuat tahapan dalam pengharamannya. Setelah itu, mereka tinggalkan candu yang luar biasa itu. Mereka komitmen dengan dua kalimat syahadat. Persaksian yang menuntut menaati apa yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan dan menjauhi apa yang dilarang. Saat itulah tampak akhlak luhur (tepat janji dan komitmen) yang mereka miliki berfungsi sebagaimana mestinya.

Berbangga Dengan Nasab dan Mencela Keturunan
Nabi ﷺ memperingatkan umatnya agar menjauhi akhlak jahiliyah yang rusak. Beliau ﷺ bersadba,
أَرْبَعٌ في أمَّتِي مِنْ أمْرِ الجَاهِلِيَّةِ لا يَتْرُكُوهُنَّ: الفَخْرُ في الأَحْسَابِ، والطَّعْنُ في الأَنْسَابِ، والاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ، وَالنِّياحَةُ
“Empat hal yang terdapat pada umatku yang termasuk perbuatan jahiliyah yang susah untuk ditinggalkan: (1) membangga-banggakan kebesaran leluhur, (2) mencela keturunan, (3) mengaitkan turunnya hujan kepada bintang tertentu, dan (4) meratapi mayit (niyahah)”. Lalu beliau bersabda, “Orang yang melakukan niyahah bila mati sebelum ia bertaubat, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dan ia dikenakan pakaian yang berlumuran dengan cairan tembaga, serta mantel yang bercampur dengan penyakit gatal” (HR. Muslim no. 934).
Termasuk budaya Arab jahiliyah juga adalah berbangga sebagai pengurus dan memimpin Masjid al-Haram. Kaum Quraisy dan musyrikin Mekah membangga-banggakannya di hadapan Arab lainnya.
مُسْتَكْبِرِينَ بِهِ سامِرًا تَهْجُرُونَ
“dengan menyombongkan diri terhadap Alquran itu dan mengucapkan perkataan-perkataan keji terhadapnya di waktu kamu bercakap-cakap di malam hari.” (QS:Al-Mu’minuun | Ayat: 67).
Kebanggaan yang dimaksud adalah kesombongan. Abdullah bin al-Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan, “Mereka menyombongkan diri dengan Ka’bah. Mereka mengatakan, ‘Kami adalah ahli (yang mengurusi) Ka’bah’ (HR. an-Nasai 11351 dan al-Hakim 3487. Al-Hakim mengatakan, ‘Hadits ini sanadnya shahih’. Dan disepakati oleh adz-Dzahabi).

Meremehkan dan Menghina Orang Miskin dan Lemah
Orang-orang Arab jahiliyah menghina orang miskin dan lemah. Allah ﷻ berfirman,
وَكَذَلِكَ فَتَنَّا بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لِيَقُولُوا أَهَؤُلاَءِ مَنَّ اللهُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَيْنِنَا أَلَيْسَ اللهُ بِأَعْلَمَ بِالشَّاكِرِينَ
Dan demikianlah telah Kami uji sebahagian mereka (orang-orang kaya) dengan sebahagian mereka (orang-orang miskin), supaya (orang-orang yang kaya itu) berkata: “Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah Allah kepada mereka?” (Allah berfirman): “Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepada-Nya)?” (QS:Al-An’am | Ayat: 53).
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma, Rasulullah ﷺ berkhotbah di hadapan orang-orang pada hari pembebasan Kota Mekah, beliau mengatakan,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللهَ قَدْ أَذْهَبَ عَنْكُمْ عُبِّيَّةَ الجَاهِلِيَّةِ وَتَعَاظُمَهَا بِآبَائِهَا، فَالنَّاسُ رَجُلاَنِ: بَرٌّ تَقِيٌّ كَرِيمٌ عَلَى اللهِ، وَفَاجِرٌ شَقِيٌّ هَيِّنٌ عَلَى اللهِ، وَالنَّاسُ بَنُو آدَمَ، وَخَلَقَ اللهُ آدَمَ مِنْ تُرَابٍ”، قَالَ اللهُ: {يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah telah menghapus kesombongan jahiliyah dan membangga-banggakan leluhur. Manusia itu hanya ada dua: (1) orang baik, bertakwa kepada Allah lagi mulia dan (2) orang yang fajir, celaka lagi hina di sisi Allah. Manusia adalah anak Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah. Allah Ta’ala berfirman,
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS:Al-Hujuraat | Ayat: 13). (HR. Abu Dawud dalam Kitab al-Adab, Bab fi at-Tafakhur bil Ahsab, No: 5116, at-Turmudzi No: 3956, dan Ahmad No: 8721. Dihasankan oleh al-Albani dalam Shahihul Jami’ No: 1787).
Ummul mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha menuturkan,
عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها، قَالَتْ: “أَسْلَمَتِ امْرَأَةٌ سَوْدَاءُ لِبَعْضِ العَرَبِ وَكَانَ لَهَا حِفْشٌ  فِي المَسْجِدِ، قَالَتْ: فَكَانَتْ تَأْتِينَا فَتَحَدَّثُ عِنْدَنَا، فَإِذَا فَرَغَتْ مِنْ حَدِيثِهَا قَالَتْ:
“Ada seorang wanita berkulit hitam yang bekerja dengan beberapa orang Arab yang telah masuk Islam. Wanita ini memiliki rumah kecil lagi sempit di dekat masjid. Aisyah radliallahu ‘anha melanjutkan; Dia pernah datang lalu bercerita di hadapan kami. Jika telah selesai dari ceritanya dia bersya’ir
وَيَوْمُ الوِشَاحِ مِنْ تَعَاجِيبِ رَبِّنَا *** أَلاَ إِنَّهُ مِنْ بَلْدَةِ الكُفْرِ أَنْجَانِي
Peristiwa selendang adalah salah satu dari keajaiban Rabb kami
Sungguh peristiwa itu terjadi di negeri kafir yang kemudian Allah menyelamatkanku
Ketika dia terus bersyair, Aisyah mengatakan, “Apakah hari selendang itu?”
Wanita itu berkata, “Pernah ada seorang anak wanita menemui beberapa orang keluargaku. Anak itu membawa selendang yang terbuat dari kulit. Kemudian selendang tersebut terjatuh. Tiba-tiba seekor burung menyambar dan mengambilnya, karena mengira selendang itu daging. Tapi orang-orang menuduhku dan menyiksaku hingga mereka menggeladahku dari bagian depanku. Ketika mereka berada di sekelilingku, dan aku dalam keadaan gundah tiba-tiba burung itu datang dan dan berputar-putar di atas kepala kami, kemudian melemparkan selendangnya. Orang-orang mengambil selendang tersebut. Kukatakan pada mereka, ‘Itulah yang kalian tuduhkan padaku, padahal aku berlepas diri dari tuduhan itu’.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab Fadha-il ash-Shahabah, Bab Ayyam Al-Jahiliyah, No: 3623).
Kisah ini menunjukkan sikap masyarakat jahiliyah yang meremehkan orang-orang lemah. Ketika orang lemah bersalah, maka langsung dihakimi begitu saja.
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengatakan,
إِنَّ أَهْلَ الإِسْلاَمِ لاَ يُسَيِّبُونَ، وَإِنَّ أَهْلَ الجَاهِلِيَّةِ كَانُوا يُسَيِّبُون
“Orang-orang Islam itu tidak suka mencela. Dan budaya orang-orang jahiliyah itu suka mencela.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab al-Fara-idh, Bab Mirats as-Sa-ibah, No: 6327).
Sebagian orang sibuk dengan budaya atau kebiasaan Arab yang tidak menggerus karakter bangsa. Seperti pakaian. Padahal sejak masa Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, dll. pakaian seperti itu telah dikenal. Dan terbukti tidak berbahaya dengan keutuhan Indonesia. Malah mereka memperjuangkan tanah air ini. Namun mereka lupa dengan budaya Arab jahiliyah yang berbahaya. Lihatlah generasi kita sekarang terbiasa dengan mem-bully dan menghina orang-orang lemah dan miskin.
Abu Hayyan rahimahullah menafsirkan ayat
وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرً
“dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.” (QS:Al-Israa’ | Ayat: 26).
Allah Ta’ala melarang pemborosan. Dulu, orang-orang jahiliyah menyembelih hewan dengan cara membacok. Dan ini dilarang syariat. Mereka menghamburkan harta (boros) untuk berbangga dan didengar orang. Mereka sebutkan hal itu dalam bait-bait syair. Dan Allah ﷻ melarang mengeluarkan harta yang bukan untuk kebaikan. Serta bukan untuk mendekatkan diri kepada-Nya (Abu Hayyan dalam Tafsir al-Bahr al-Muhith, 7/40).
Budaya-budaya Arab jahiliyah ini masih ada di masyarakat Arab sekarang dan juga Indonesia. Hendaknya yang demikian lebih menjadi sasaran perbaikan.

Membunuh Anak Perempuan
Orang-orang Arab jahiliyah memiliki rasa malu dan harga diri yang tinggi. Mereka tidak bisa menerima jika salah seorang anggota keluarga dilecehkan. Aib yang diterima salah seorang anggota keluarga adalah aib keluarga. Oleh karena itu, peperangan sering terjadi karena salah seorang anggota kabilah dihina. Bagi keluarga yang lemah, mereka akan dikuasai. Ketika dikuasai, artinya siap-siap dilecehkan.
Anak-anak perempuan tidak bisa mereka andalkan untuk membela keluarga. Menurut mereka, semakin banyak anggota keluarga perempuan, semakin lemah kabilah. Ketika lemah, maka para perempuan akan tertawan dan menjadi hina dengan perbudakan. Mereka tidak sanggup menahan rasa malu itu. Hingga mereka bunuh anak-anak perempuan mereka sebelum hal itu jadi kenyataan. Allah ﷻ berfirman,
وَإِذَا الْمَوْؤُدَةُ سُئِلَتْ (8) بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ
“Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.” (QS:At-Takwiir | Ayat: 8-9).
وَإِذا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِما ضَرَبَ لِلرَّحْمنِ مَثَلاً ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ
“Padahal apabila salah seorang di antara mereka diberi kabar gembira dengan apa yang dijadikan sebagai misal bagi Allah Yang Maha Pemurah; jadilah mukanya hitam pekat sedang dia amat menahan sedih.” (QS:Az-Zukhruf | Ayat: 17).
وَإِذا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالأُنْثى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ (58) يَتَوارى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ ما بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرابِ أَلا ساءَ ما يَحْكُمُونَ
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS:An-Nahl | Ayat: 58)
عَنْ أُمَيْمَةُ بِنْتُ رُقَيْقَةَ أنها جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُبَايِعُهُ عَلَى الْإِسْلَامِ فَقَالَ أُبَايِعُكِ عَلَى أَنْ لَا تُشْرِكِي بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا تَسْرِقِي وَلَا تَزْنِي وَلَا تَقْتُلِي وَلَدَكِ وَلَا تَأْتِي بِبُهْتَانٍ تَفْتَرِينَهُ بَيْنَ يَدَيْكِ وَرِجْلَيْكِ وَلَا تَنُوحِي وَلَا تَبَرَّجِي تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى.
Umaimah binti Ruqaiqah radhiyallahu ‘anha mendatangi Rasulullah ﷺ untuk membaiat beliau atas Islam. Lalu beliau bersabda, “Aku membaiatmu untuk tidak menyekutukan Allah  dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anakmu, tidak datang membawa kebohongan yang kamu bohongkan didepan tangan dan kakimu, tidak berbuat niyahah (meratapi mayit), dan tidak berhias seperti orang-orang jahiliyyah dahulu.” (HR. Ahmad 6850).

Pergaulan Bebas Ala Jahiliyah
Ada beberapa bentuk hubungan laki-laki dan perempuan di masa jahiliyah. Ada yang sah dan dilanggengkan oleh syariat Islam. Seperti pernikahan yang sekarang kita kenal. Ada juga pergaulan bebas antara laki-laki dan wanita yang diharamkan hingga seakrang. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Ummul mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha tentang pergaulan laki-laki dan perempuan di masa jahiliyah. Ada 3 bentuk pergaulan bebas di masa jahiliyah: (1) Nikah istibdha. Perzinahan yang bertujuan untuk memperbaiki keturunan. (2) Nikah ar-Rahthu. Pergaulan bebas yang kita kenal dengan istilah “kumpul kebo”. (3) Nikah dzawatu rayah. Yang hari ini kita sebut dengan pelacuran.
Dari Aurah bin az-Zubari, Aisyah radhiallahu ‘anha, istir Nabi ﷺ, bercerita kepada Aurah. Kata Aisyah:
Nikah di zaman jahiliyah ada 4 macam:
Pertama: nikah yang kita kenal pada hari ini (setelah Islam datang). Seorang laki-laki meminang wanita atau anak perempuan kepada walinya, lalu membayar mahar, kemudian menikahinya.
Kedua: Bentuk pernikahan yang lain yaitu seorang laki-laki berkata kepada istrinya, ketika istrinya itu telah suci dari haidl, “Pergilah kepada si Fulan, kemudian mintalah untuk dikumpulinya”, dan suaminya sendiri menjauhinya, tidak menyentuhnya sehingga jelas istrinya itu telah mengandung dari hasil hubungannya dengan laki-laki itu. Kemudian apabila telah jelas kehamilannya, lalu suaminya itu melanjutkan mengumpulinya apabila dia suka. Dan hal itu diperbuat karena keinginan untuk mendapatkan anak yang cerdas (bibit unggul). Nikah semacam ini disebut nikah istibdha’.
Ketiga: Kemudian bentuk yang lain, yaitu sejumlah laki-laki, kurang dari 10 orang berkumpul, lalu mereka semua mencampuri seorang wanita. Apabila wanita tersebut telah hamil dan melahirkan anaknya, selang beberapa hari perempuan itu memanggil mereka dan tidak ada seorang pun diantara mereka yang dapat menolak panggilan tersebut sehingga merekapun berkumpul di rumah perempuan itu. Kemudian wanita itu berkata kepada mereka, “Sungguh kalian semua telah mengetahui urusan kalian, sedang aku sekarang telah melahirkan, dan anak ini adalah anakmu hai fulan”. Dan wanita itu menyebut nama laki-laki yang disukainya, sehingga dihubungkanlah anak itu sebagai anaknya, dan laki-laki itupun tidak boleh menolaknya.
Keempat: Bentuk keempat yaitu, berhimpun laki-laki yang banyak. Lalu mereka mencampuri seorang wanita yang memang tidak akan menolak setiap laki-laki yang mendatanginya. Sebab mereka itu adalah pelacur-pelacur yang memasang bendera-bendera di muka pintu sebagai tanda. Siapa saja yang menginginkannya boleh masuk. Kemudian jika salah seorang di antara wanita itu ada yang hamil dan melahirkan anaknya, maka para laki-laki tadi berkumpul di situ. Dan mereka pun memanggil orang-orang ahli firasat, lalu dihubungkanlah anak itu kepada ayahnya oleh orang-orang ahli firasat itu menurut anggapan mereka. Maka anak itu pun diakuinya, dan dipanggil sebagai anaknya, dimana orang (yang dianggap sebagai ayahnya) itu tidak boleh menolaknya.
Kemudian setelah Allah mengutus Muhammad ﷺ sebagai Rasul dengan jalan kebenaran, beliau menghapus pernikahan model jahiliyah tersebut keseluruhannya, kecuali pernikahan sebagaimana yang berjalan sekarang ini. (HR. Bukhari dan Abu Dawud, dalam Nailul Authar juz 6, hal. 178-179).
Perhatikan bentuk pernikahan yang ketiga (kumpul kebo) dan yang keempat (pelacuran). Dalam hal ini, orang jahiliyah lebih mending dibanding sebagian orang saat ini. Wanita-wanita yang melakukan kumpul kebo dan pelacuran di masa jahiliyah lebih memiliki kehormatan dan kedudukan dibanding wanita yang melakukan kumpul kebo dan pelacuran di zaman sekarang.
Bayangkan! Di zaman jahiliyah pelacur sekalipun masih bisa meminta pertanggung-jawaban laki-laki yang telah berhubungan dengan mereka. Yang hal itu tidak mampu dilakukan wanita serupa pada hari ini. Artinya wanita itu lebih dihargai. Dan laki-laki di masa itu memiliki tanggung jawab dan harga diri. Mereka malu menolak tugas pengasuhan anak walaupun pengasuhan itu membutuhkan biaya.
Orang-orang di masa jahiliyah juga menikahi wanita bersaudara, yang keduany masih hidup. Mereka menikahi ibu tiri mereka ketika sudah dicerai atau sang ayah wafat.
Abdullah bin al-Abbas radhiallahu ‘anhuma menafsirkan ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلاَ تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya.” (QS:An-Nisaa | Ayat: 19).
Apbila seseorang wafat, maka keluarganya adalah orang yang paling berhak atas istrinya. Jika salah seorang dari keluarganya mau, mereka bisa menikahinya. Jika semuanya mau, mereka juga bisa menikahinya. Jika mereka tidak mau, mereka tidak menikahinya. Pihak keluarga suami ini, lebih berhak terhadap si wanita dibanding keluarga wanita itu sendiri. Kemudian Allah ﷻ turunkan ayat ini.”
Dalam riwayat Abu Dawud, Abdullah bin al-Abbas menafisrikan ayat ini:
لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلاَ تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلاَّ أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ
“Tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata.” (QS:An-Nisaa | Ayat: 19).
Dulu, seorang laki-laki mendapat waris dari kerabatnya, istri-istri mereka. Warisannya adalah seorang wanita hingga ia wafat. Atau wanita itu menebus dirinya. Kemudian Allah ﷻ memberi keputusan pelarangan hal itu (HR. Abu Dawud dalam Kitab an-Nikah, Bab Qouluhu Ta’ala “لا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلا تَعْضُلُوهُنَّ”, No: 2090. Dihasankan oleh al-Albani dalam Shahih Abi Dawud, 6/325).

Penutup
Inilah beberapa contoh akhlak jahiliyah. Umar bin al-Khattab mengatakan,
قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إنَّمَا تُنْقَضُ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً إذَا نَشَأَ فِي الْإِسْلَامِ مَنْ لَمْ يَعْرِفْ الْجَاهِلِيَّةَ
“Sesungguhnya ikatan Islam akan terurai satu per satu, apabila di dalam Islam tumbuh orang yang tidak mengetahui perkara jahiliyah.”
Mengapa? Karena orang yang tidak mengetahui akhlak buruk jahiliyah, kemungkinan besar ia akan jatuh ke dalamnya. Realita kita sekarang telah membuktikan apa yang diucapkan Umar.
Sumber:
– http://islamstory.com/ar/أخلاق-العرب-قبل-الإسلام
Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)
Artikel www.KisahMuslim.com

Rabu, 02 Maret 2016

Balasan Kebaikan Adalah Kebaikan

 


 

Buah Kebaikan

Pada suatu hari ada seorang pemabuk yang mengundang sekelompok sahabatnya. Mereka pun duduk, kemudian si pemabuk memanggil budaknya, lalu ia menyerahkan empat dirham kepada pembantunya dan menyuruhnya agar membeli buah-buahan untuk teman-temannya tersebut. Di tengah-tengah perjalanan, si pembantu melewati seseorang yang zuhud, yaitu Manshur bin Ammar. Beliau berkata, “Barangsiapa memberikan empat dirham kepadanya. Selanjutnya Manshur bin Ammar bertanya, “Doa apa yang Anda inginkan?” Lalu ia menjawab, “Pertama, saya mempunyai majikan yang bengis. Saya ingin dapat terlepas darinya. Kedua, saya ingin Allah Subhanahu wa Ta’ala menggantikan empat dirham untukku. Ketiga, saya ingin Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima taubat majikan saya. Keempat, saya ingin Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan ampunan untukku. Ketiga, saya ingin Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima taubat majikan saya. Keempat, saya ingin Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan ampunan untukku, untuk majikanku, untukmu, dan orang-orang yang hadir di sana.” Kemudian Manshur mendoakannya.
Pembantu itu pun berlalu dan kembali kepada majikannya yang gemar menghardiknya. Majikannya bertanya kepadanya, “Mengapa kamu terlambat dan mana buahnya?” Lantas ia menceritakan bahwa ia telah bertemu sang ahli zuhud bernama Manshur dan bagaimana ia telah memberikan empat dirham kepadanya sebagai imbalan empat doa. Maka, amarah sang majikan pun redam. Ia bertanya, “Apa yang engkau mohonkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala?” Ia menjawab, “Saya mohon untuk diriku agar saya dibebaskan dari perbudakan.” Lantas majikannya berkata, “Sungguh, saya telah memerdekakanmu. Kamu sekarang merdeka karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apa doamu yang kedua?” Ia menjawab, “Saya memohon agar Allah Subhanahu wa Ta’ala menggantikan empat dirham buatku.” Majikannya berkata, “Bagimu empat dirham. Apa doamu yang ketiga?” Ia menjawab, “Saya memohon agar Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima taubatmu.” Lantas si majikan menundukkan kepalanya, menangis, dan menyingkirkan gelas-gelas arak dengan kedua tangannya dan memecahkannya. Lalu ia berkata, “Saya bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Saya tidak akan mengulanginya lagi selamanya. Lalu apa doamu yang keempat?” Ia menjawab, “Saya memohon agar Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan ampunan untukku, untukmu, dan orang-orang yang hadir di sini.” Sang majikan berkata, “Yang ini bukan wewenangku. Ini adalah wewenang Dzat Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Ketika sang majikan tidur pada malam harinya, ia mendengar suara yang mengatakan, “Engkau telah melakukan apa yang menjadi wewenangmu. Sungguh, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan ampunan kepadamu, si pelayan, Manshur bin Ammar, dan semua orang-orang yang hadir.”
Sumber: Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah, Pustaka Arafah Cetakan 1
Artikel www.KisahMuslim.com

Pelajaran dari Kisah Nabi Luth: Ketika Kaum Gay Mayoritas

   Isu gay, homoseksual dan lesbian, kembali menyeruak. Hubungan yang dulu dianggap jijik dan kotor itu, kini dipaksa dinilai normal dan manusiawi. Para pelaku berjuang agar hubungan mereka legal dalam pernikahan. Sungguh ini mengancam keberlangsungan manusia.
Padahal tahun 1950, tidak ada satu pun negara yang melegalkan dosa warisan kaum Nabi Luth ini. Namun dunia berubah begitu cepat. Amerika telah mensahkan pernikahan ini sejak tahun 2015 lalu. Kemudian tahun ini diikuti oleh belasan atau bahkan puluhan negara lainnya. Brazil lebih “hebat” lagi. Mereka menjadi salah satu yang terdepan, pernikahan gay telah disahkan sejak tahun 2011 di negeri samba itu.
Isu Minoritas dan Diskriminasi
Dalam kondisi minoritas, kaum gay memposisikan diri sebagai orang-orang yang dizalimi. Berharap perhatian dan dihargai. Kata mereka, keluarga dan masyarakat telah memperlakukan mereka tidak adil. Datanglah pembelaan dari aktivis HAM (Hak Asasi Manusia). Para aktivis kemanusiaan yang tidak mengenal fitrah manusia. Mereka membela siapa saja, kecuali umat Islam.
Islam tetap konsisten, kebenaran tidak diukur oleh jumlah. Yang banyak bisa jadi benar, bisa pula berlaku zalim. Yang sedikit bisa saja berpegang teguh dengan kebenaran, dan belum tentu pula selalu benar. Kebenaran adalah apa yang sesuai dengan Alquran dan Sunnah Rasulullah ﷺ.
Dosa Warisan Kaum Luth
Orang-orang pertama yang melakukan dosa homoseksual adalah kaum Nabi Luth ‘alaihissalam. Sebagaimana firman Allah ﷻ,
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ
Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah (keji) itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelummu?” (QS:Al-A’raf | Ayat: 80).
إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ ۚ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ
“Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.” (QS:Al-A’raf | Ayat: 81).
Khalifah bani Umayyah, al-Walid bin Abdul Malik rahimahullah, mengatakan, “Kalau Allah ﷻ tidak berkisah kepada kita tentang Luth, maka aku tidak menyangka ada laki-laki berhubungan dengan laki-laki”. (Tafsir al-Quran al-Azhim).
Jangankan al-Walid bin Abdul Malik, Nabi Luth yang hidup di tengah kaum gay ini dan menyaksikan langsung perbuatan mereka, pun merasa heran. Beliau ‘alaihissalam mengatakan,
أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ
“Apakah kalian patut mendatangi laki-laki?” (QS:Al-‘Ankabuut | Ayat: 29).
Demikianlah fitrah yang Allah ﷻ berikan kepada orang-orang shalih dan memiliki kehormatan.
Ketika Kaum Gay Mayoritas
Jika kita perhatikan sejarah, sekelompok orang atau kaum akan terlihat watak aslinya ketika mereka memiliki power. Apakah mereka menggunakan kekuatan yang mereka punya untuk kebaikan ataukah untuk keburukan?
Kita lihat orang-orang Yahudi. Mengemis kepada rakyat Palestina saat pertama kali datang ke sana. Mereka bentangkan spanduk di kapal-kapal yang membwa mereka berlabuh di tanah Kan’an. Berharap masyarakat Arab, khususnya Palestina, tidak mengecewakan mereka sebagaimana orang-orang Jermah telah melakukannya. Sekarang? Dunia pun habis cara menyembunyikan kekejaman mereka.
Kita juga saksikan minoritas orang-orang Syiah di negeri ini, merasa dizalimi sebagai minoriti. Bacalah apa yang dilakukan Daulah Fatimiyah (Ubaidiyah). Lihatlah apa yang terjadi di Irak dan Suriah. Mereka menampakkawa keasliannya.
Cara yang sama dipakai oleh kaum gay. Menjeriti kezaliman saat mereka sedikit. Saat mereka banyak? Mereka menyiksa, mengancam, bahkan memperkosa kaum laki-laki. Alquran telah bercerita tentang mereka. Mereka usir orang-orang yang menentang mereka. Mereka sebut yang mengingatkan mereka sebagai orang-orang “sok suci”.
– Melakukan ancaman
Saat minoritas mereka menuntut toleransi. Namun saat mayoritas, mereka mengancam orang-orang yang berbeda dengan mereka.
قَالُوا لَئِنْ لَمْ تَنْتَهِ يَا لُوطُ لَتَكُونَنَّ مِنَ الْمُخْرَجِينَ
Mereka menjawab: “Hai Luth, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti, benar-benar kamu termasuk orang-orang yang diusir” (QS:Asy-Syu’araa | Ayat: 167).
– Melakukan pengusiran
وَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلَّا أَنْ قَالُوا أَخْرِجُوهُمْ مِنْ قَرْيَتِكُمْ ۖ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ
Jawab kaumnya idak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri”. (QS:Al-A’raf | Ayat: 82).
فَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلَّا أَنْ قَالُوا أَخْرِجُوا آلَ لُوطٍ مِنْ قَرْيَتِكُمْ ۖ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ
“Maka tidak lain jawaban kaumnya melainkan mengatakan: “Usirlah Luth beserta keluarganya dari negerimu; karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang (mendakwakan dirinya) bersih”.” (QS:An-Naml | Ayat: 56).
Jadi, lagu lama para pembela kebatilan adalah menuduh orang-orang baik dengan “sok suci”.
– Mencoba memerkosa tamu-tamu Nabi Luth
Setelah mereka mengetahui di rumah Nabi Luth ‘alaihissalam ada beberapa orang laki-laki tampan, mereka bersegera datang ke sana. Bahkan mendobrak pintu rumah, untuk menjumpai para tamu, dan mendapatkan apa yang diinginkan.
وَجَاءَهُ قَوْمُهُ يُهْرَعُونَ إِلَيْهِ وَمِنْ قَبْلُ كَانُوا يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ ۚ قَالَ يَا قَوْمِ هَٰؤُلَاءِ بَنَاتِي هُنَّ أَطْهَرُ لَكُمْ ۖ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَلَا تُخْزُونِ فِي ضَيْفِي ۖ أَلَيْسَ مِنْكُمْ رَجُلٌ رَشِيدٌ
Dan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. Dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji. Luth berkata: “Hai kaumku, inilah puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah di antaramu seorang yang berakal?” (QS:Huud | Ayat: 78).
وَلَقَدْ رَاوَدُوهُ عَنْ ضَيْفِهِ فَطَمَسْنَا أَعْيُنَهُمْ فَذُوقُوا عَذَابِي وَنُذُرِ
“Dan sesungguhnya mereka telah membujuknya (agar menyerahkan) tamunya (kepada mereka), lalu Kami butakan mata mereka, maka rasakanlah azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku.” (QS:Al-Qamar | Ayat: 37).
Saya yakin, laki-laki pembela LGBT pun tidak mau diperkosa oleh kaum gay.
Penutup
Di antara kebohongan para pembela kebatilan adalah tuntutan kesetaraan, penghargaan, dan toleransi. Padahal merekalah orang-orang yang tidak menloransi orang-orang yang tidak sependapat dengan mereka. Contoh sederhananya, ketika Anda mengkampanyekan anti LGBT di sosial mediat seperti facebook, maka pendapat Anda tidak akan diterima, Anda akan diblokir. Atau dengan kata lain diusir dari komunitas facebook.
Prilaku kaum Nabi Luth tidak layak mendapat dukungan. Dukungan yang terbaik untuk mereka adalah dorongan agar mereka sembuh dan mau mengkonsultasikan penyimpangan mereka ke psikiater atau pihak-pihak kompeten lainnya.
Daftar Pustaka:
– al-Khamis, Muhammad bin Utsman. 2010. Fabihudahum Iqtadih. Kuwait: Dar al-Ilaf li an-Nasyr wa at-Tauzi’
– al-Katsir, Ibunu. Tafsir al-Quran al-Azhim: http://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?idfrom=526&idto=526&bk_no=49&ID=535
Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)
Artikel www.KisahMuslim.com