Kamis, 10 November 2016

Taubatnya Seorang Wanita Cantik Jelita yang Hendak Menggoda Rabi' Bin Kutsaim


Suatu kaum memerintahkan seorang wanita cantik jelita untuk menggoda Rabi’ bin khutsaim, dengan harapan wanita itu dapat menggodanya. Kaum itu, menyediakan hadiah sebanyak seribu Dirham kepada wanita itu, jika ia berhasil melakukan hal tersebut. Ia pun memakai pakaian yang paling indah dan menggunakan parfum yang paling harum. Kemudian mulailah ia menggoda Rabi’ bin Khutsaim saat Rabi’ keluar dari Mesjid. Rabi’ pun memandangnya dengan tetap waspada dari tipu daya wanita itu.
Wanita itu lalu mendekati Rabi’, rabi' Kemudian berkata kepadanya,

“Apa yang akan terjadi denganmu jika kamu terkena demam yang dapat menjadikan warna kulit dan wajahmu berubah(buruk)? Apa yang akan terjadi denganmu jika malaikat Maut datang mencabut nyawamu? Apa yang akan kamu lakukan jika malaikat Mungkar dan Nakir bertanya kepadamu?”
Wanita itu berteriak histeris dan jatuh pingsan. Setelah sadar, ia pun bertobat dan beribadah kepada Tuhannya.
(Sumber: Air Mata Wanita yang Bertobat, karya Majdi asy-Syahawi, pustaka cendekia sentra muslim, hal: 115)

Senin, 07 November 2016

Kisah JULAIBIB رضي الله عنه


“Sami’na wa`atha’na”, itulah sikap seorang mukmin ketika sampai kepadanya perintah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sikap ini sebagai bukti keimanannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sebagai bukti kecintaannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Memang demikianlah, menjadi keharusan bagi seseorang yang telah bersaksi Muhammad adalah utusan Allah untuk menerima segala yang telah menjadi keputusan Rasulullah. Tidak ada lagi pilihan bagi dirinya, kecuali harus tunduk dan patuh, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan kecuali dalam perintah tersebut mengandung banyak hikmah. Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang, kecuali dalam larangan itu terdapat bahaya besar.





Sikap taat, tunduk dan patuh itu selalu menghiasi para sahabat Rasulullah yang merupakan satu generasi terdidik di bawah naungan cahaya Nubuwwah. Generasi yang dipuji oleh Allah dan yang terpilih untuk menemani, serta mendukung dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. [al-Ahzâb/33 : 36]. 

Ada suatu kisah sangat menarik berkaitan dengan ayat yang mulia ini. Yaitu kisah seorang sahabat Rasulullah yang bernama Julaibib Radhiyallahu anhu. Sahabat ini bukan termasuk orang terpandang di kalangan kaum Anshar. Perawakannya juga kurang bagus. Sahabat ini termasuk dalam kategori orang miskin, tidak memiliki harta. Meskipun demikian, beliau sangat dicintai oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena ketakwaan yang ada pada dirinya.

Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin menikahkannya dengan salah seorang putri sahabat Anshar. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi rumah sahabat Anshar ini dan berkata: “Nikahkanlah putrimu denganku”.

Mendengar ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sahabat tadi tanpa berpikir panjang langsung menerima tawaran Rasulullah. Satu kesempatan yang sangat berharga, dan suatu kebanggaan tak ternilai ketika terjalin hubungan dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Akan tetapi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, bahwa pinangan ini bukan untuk dirinya. 

“Kalau begitu pinangan ini untuk siapa, wahai Rasulullah?” katanya dengan penuh tanda tanya.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Untuk Julaibib Radhiyallahu anhu”.
Dengan penuh kebingungan sahabat itu menjawab: “Baiklah, wahai Rasulullah! Tetapi aku harus bermusyawarah terlebih dahulu dengan istriku”.

Pergilah sahabat ini menemui istrinya. Terlintas di benaknya, apa kata orang jika putriku menikah dengan Julaibib Radhiyallahu anhu ?! Bagaimana martabat keluarganya?!
Setelah bertemu dengan istrinya, iapun menceritakan pinangan Rasulullah. Dia berkata: “Wahai, istriku. Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminang putrimu,” serta merta istrinya menjawab: “Iya, aku sangat setuju”.
“Akan tetapi Rasulullah tidak meminang untuk dirinya, ” jelas sang suami.
“Lantas untuk siapa pinangan itu,” tanya istrinya penuh keheranan.
“Rasulullah meminangnya untuk Julaibib Radhiyallahu anhu ,” tandasnya.
Istrinya menjawab: “Untuk Julaibib Radhiyallahu anhu ? Tidak! Aku tidak setuju. Jangan engkau nikahkan dengannya!”
Mereka enggan memiliki seorang menantu seperti Julaibib Radhiyallahu anhu yang tidak memiliki apa-apa. Demikianlah, keadaan sebagian orang tua yang terkadang lebih mengutamakan dunia seseorang dari pada agamanya.

Percakapan itu ternyata terdengan oleh putrinya. Lantas bagaimana dengan sikap putrinya mendengar pinangan dari Rasulullah?
Tak disangka, ketika bapaknya hendak beranjak pergi untuk menolak pinangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , terdengarlah suara dari dalam kamar: “Siapakah yang telah meminangku, wahai ayah?”
Sang ibu kemudian menceritakan bahwa yang meminang adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , akan tetapi pinangan itu bukan untuk dirinya, tetapi untuk Jualaibib,
Ternyata putrinya menjawab dengan tegas: “Apakah kalian menolak perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Tidakah kalian mendengar firman Allah
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. – al-Ahzâb/33 ayat 36- Terimalah pinangan itu, karena ia tidak akan menyia-nyiakanku. Ketahuilah, aku tidak akan menikah kecuali dengan Julaibib Radhiyallahu anhu !” 
Mendengar penuturan putrinya, maka pergilah sahabat itu menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. 
Sesampai di hadapan Rasulullah, iapun berkata: “Wahai, Rasulullah! Aku menerima pinanganmu. Nikahkanlah putriku dengan Julaibib Radhiyallahu anhu “.
Sungguh satu pernyataan yang menunjukkan ketundukan terhadap perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Wanita shalihah ini tidak melihat diri calon pendamping hidupnya, kecuali dengan pandangan agama. Dia sangat memahami, bahwa kemuliaan dan kebahagiaan hidup seseorang hanyalah dengan ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Itulah sikap seorang yang beriman kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Perintah Rasulullah selalu didahulukan dari keinginan pribadinya. Dia yakin, keputusan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu yang terbaik. Ya, ilmu selalu membimbingnya kepada kebaikan, ketundukan kepada perintah Allah dan Rasul-Nya.

Tak terperi, kebahagiaan pun meliputi Julaibib Radhiyallahu anhu . Istri yang shalihah akan segera menjadi pendamping hidupnya. Kehidupan baru akan segera ia jalani.
Namun, kiranya angan-angan itu serasa hilang, ketika panggilan jihad megetuk hatinya. Karena pada saat yang bersamaan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kaum muslimin agar berjihad di jalan Allah. Julaibib Radhiyallahu anhu dalam kebimbangan. Ia bingung manakala harus memilih antara istri shalihah, kebahagiaan, atau mati shahid yang selama ini dicita-citakannya?! Akhirnya, ternyata kerinduan terhadap mati syahid di medan perang menjadi pilihannya.

Maka berangkatlah Julaibib Radhiyallahu anhu menuju medan perang. Dia tinggalkan calon istrinya yang shalihah dan kebahagiaan yang akan segera ia peroleh, demi menyambut panggilan Rabbnya, yaitu berjihad di jalan-Nya.
Sudah menjadi kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau sangat memberi perhatian kepada para sahabatnya usai peperangan. Biasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan siapa saja yang syahid dalam peperangan itu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabatnya: “Siapa saja yang gugur di jalan Allah?”
Mereka menjawab: ” Fulan dan fulan, wahai Rasulullah”.
Mereka tidak menyebutkan nama yang dicari oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yakni Julaibib Radhiyallahu anhu . Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali menanyakan kepada para sahabat, dan jawaban mereka sama.
Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berseru: “Sesunguhnya aku telah kehilangan salah seorang sahabatku, Jualaibib. Carilah ia!” 

Para sahabat segera mencari jasad Julaibib Radhiyallahu anhu . Dan mereka mendapatkan jasadnya tersungkur. Di sekelilingnya terdapat tujuh jasad orang kafir. Segeralah para sahabat memberitahukan kepada Rasulullah tentang Julaibib Radhiyallahu anhu , maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam segera menghampiri jasadnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di sampingnya dan bersabda: ” Dia telah membunuh tujuh orang ini, kemudian mereka membunuhnya. Sesungguhnya, ia adalah aku, dan aku adalah dia”. Rasulullan n mengucapkannya sebanyak tiga kali. Kemudian, dengan penuh lemah lembut dan kasih sayang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat jasadnya dan menyandarkan di lengannya.
Para sahabat mempersiapkan liang lahat untuknya, dan Rasulullah terus menyandarkan jasad Julaibib Radhiyallahu anhu di lengannya, sampai akhirnya ia di kuburkan. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatinya. 

Itulah akhir kehidupan Sahabat Julaibib Radhiyallahu anhu . Beliau menutup lembaran-lembaran amalnya dengan mati syahid di jalan Allah.
Lalu, bagaimanakah dengan wanita shalihah yang siap mendampinginya?
Sepeninggal Sahabat Julaibib Radhiyallahu anhu z , wanita itu menjadi seorang yang kaya raya di kalangan kaum Anshar. Semua itu berkat doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Yaitu ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa: “Ya, Allah! Curahkanlah kebaikan untuknya. Dan jangan Engkau menjadikan untuknya kehidupan yang susah”. 

Dengan doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, ia mendapatkan keberkahan dalam kehidupannya. Demikianlah hikmah lantaran taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Semoga kisah ini menjadi pelajaran bagi kita. Wallahu a’lam.
Marâji’:
1. Shahih Muslim.
2. Usud al-Ghabah fi Ma’rifati ash-Shahabah.
3. Tafsir Ibnu Katsir.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl9 Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]


Kamis, 03 November 2016

Syaikh Syu’aib al-Arnauth, Seorang Peneliti dan Ahli Hadits

Baru-baru ini, dunia Islam berduka, kehilangan salah seorang putra terbaiknya di zaman ini, Syaikh Syu’aib al-Arnauth. Beliau adalah seorang peneliti hadits yang produktif. Setidaknya, ada 240 buku yang sudah ia tahqiq (kaji dan teliti riwayat-riwayatnya). Pada tanggal 26 Muharam 1438 H bertepatan dengan 27 Oktober 2016, ulama ahli hadits ini meninggal. Rahimahullah rahmatan wasi’atan.

Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّـى إِذَا لَمْ يَبْقَ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا، فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا.
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu sekaligus dari para hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Ketika tidak tersisa lagi seorang yang berilmu, orang-orang akan menjadikan orang-orang tidak berpengetahuan sebagai pemimpin. Kemudian mereka ditanya, mereka akan memberikan fatwa tanpa ilmu. Mereka sesat lagi menyesatkan orang lain.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Mengenal Syaikh Syu’aib al-Arnauth
Namanya adalah Syu’aib bin Muharram al-Arnauth. Al-Arnauth adalah sebutan untuk salah satu kabilah di Albania. Keluarganya hijrah dari Albani menuju Damaskus pada tahun 1926. Sejak saat itu, mereka tinggal di wilayah Syam itu. Mereka memilih tanah Syam, karena ayahnya tahu keutamaan Syam dan penduduknya. Ayah Syaikh Syu’aib adalah seorang yang mencintai ulama. Ia juga senang sekali bersahabat bersama para ahli ilmu.

Syaikh Syu’aib al-Arnauth lahir di Damaskus pada tahun 1928. Ia tumbuh besar di bawah bimbingan sang ayah. Ayahnya mengajarinya pondasi-pondasi keislaman. Dan membimbingnya menghafal sejumlah juz Alquran. Keakrabannya dengan Alquran sedari kecil membuatnya bersemangat memahami makna-makna Alquran secara mendalam. Keingin-tahuannya itu menjadi sebab utama yang memotivasinya untuk belajar bahasa Arab di usia yang masih belia. Ia menyibukkan diri di masjid. Mencari majelis-majelis bahasa Arab dan cabang-cabang keilmuannya. Seperti: Sharf, sastra, Balaghah, dll.

Sebagian ulama, seperti Imam Malik, asy-Syafi’i, dll. ibu mereka begitu besar pengaruhnya dalam pertumbuhan keshalehan dan keilmuan mereka. Ada pula yang bapak-bapak merekalah yang dicatat dalam biografi mereka sebagai orang yang berpengaruh dalam keilmuannya.

Belajar dari Para Ulama
Syaikh al-Arnauth muda mulai serius menekuni bahasa Arab. Ia datangi para ustadz dan ulama ahli bahasa Arab di Kota Damaskus. Di antaranya: Syaikh Shaleh al-Farfur, Syaikh Arif ad-Duwaiji –yang merupakan murid dari Syaikh Badruddin al-Husna-, dll. Bersama guru-gurunya itu, Syaikh al-Arnauth mempelajari buku-buku rujukan utama ilmu bahasa Arab dan balaghah. Seperti: Syarah Ibnu Aqil, Kifayah karya Ibnu Hajib, al-Mufashshal karya Zamakhsyary, Syudzur adz-Dzahab karya Ibnu Hisyam, Asrar al-Balaghah, dan Dala-il al-I’jaz karya Jurnany.

Guru-gurunya yang lain adalah Syaikh Sulaiman al-Ghawaji al-Albani, seorang ulama yang mensyarah al-‘Awamil karya al-Baruky, al-Izh-har karya al-Athahly, dll.
Setelah membekali diri dengan kemampuan yang mumpuni dalam bahasa Arab, Syu’aib al-Arnauth mulai mempelajari ilmu Fikih, terutama kajian fikih Madzhab Hanafi. Dalam fan ini, ia pun memiliki banyak guru yang mengajarkannya banyak buku. Buku-buku Madzhab Hanafi yang ia kaji adalah Muraqi al-Falah karya asy-Syarnabilaly, al-Ikhtiyar karya al-Maushuly, al-Kitab karya al-Qadury, dan Hasyiyah Ibnu Abidin.
Selama 7 tahun, ia tenggelamkan dirinya dalam kajian-kajian fikih. Kemudian ia mempelajari  Ushul Fiqh, Tafsir Alquran, Musthalah al-Hadits, dan buku-buku akhlak. Saat itu usia beliau sudah lebih dari 30 tahun.

Menjadi Peneliti Hadits (Muhaqqiq)
Saat mempelajari fikih, Syaikh al-Arnauth rahimahullah bersentuhan dengan status sebuah hadits, shahih atau tidak. Hal ini memotivasinya untuk meneliti buku-buku fikih yang muatan materinya adalah hadits. Ia memfokuskan diri pada penelitian tersebut. Sampai akhirnya, ia menjadi spesialis dalam kajian ini. Cabang keilmuan yang baru ia tekuni ini bukanlah permasalahan ringan. Butuh waktu yang luas dan fokus yang luar biasa. Karena itu, sejak tahun 1955, ia meninggalkan pengkajian bahasa Arab. Mulailah ia menghabiskan waktunya untuk meneliti warisan Islam.
Pada tahun 1982, Syaikh al-Arnauth pindah ke Omman. Di tempat baru ini, ia menjalin kerja sama dengan percetakan Muassasah ar-Risalah. Di percetakan ini, keahliannya makin terasah. Ia mengeluarkan usaha terbaik berkhidmat kepada Islam dan kaum muslimin dengan meneliti warisan peradaban Islam.

Rujuk ke Aqidah Salaf
Dalam sebuah rekaman, Syaikh Syu’aib al-Arnauth menceritakan sedikit fase kehidupan ke-agama-annya. Syaikh ditanya, “Wahai Syaikh, -segala puji bagi Allah- Anda berakidah salaf.” “Insya Allah,” jawab Syaikh Syu’aib. Penanya melanjutkan, “Tapi, di tempat kami ada Madrasah Asy’ariyah yang mengatakan Anda adalah seorang Asy‘ari. Dan ahli hadits dari kalangan Asy‘ari. Kami ingin mendengar langsung dari Anda.”
Syaikh Syu’aib menjawab, “Tidak, demi Allah. Pada awal perjalanan hidupku, guru-guruku berakidah Maturidiyah. Namun, saat aku mulai menulis, ku temukan sebuah buku yang berjudul Aqawil ats-Tsiqat fi Itsbati al-Asma wa ash-Shifat karya Mar’i bin Yusuf al-Karmi. Dalam buku tersebut terdapat pembelaan terhadap Madzha as-Salaf, dan inilah yang aku yakini sekarang. Madzhab as-Salaf lebih selamat dan lebih berlandaskan ilmu. Dalam masalah sifat Allah, kita harus menetapkan apa yang Allah tetapkan untuk diri-Nya. Tanpa tasybih (menyerupakan) dan juga ta’thil (mengingkari). Kita tidak boleh menyamakan Allah (dengan sesuatu) dan mengingkari sifat-Nya. Dan saya meyakini bahwa sifat-sifat Allah itu tidak mampu dijangkau akal. Setiap malam, Allah Rabbul ‘alamin turun ke langit dunia. Ini terdapat dalam hadits riwayat al-Bukhari dalam Shahih-nya. Kita harus beriman Allah turun, tapi kita tidak mengetahui bagaimana tata cara turun-Nya.”

Murid-Muridnya
Syaikh Syu’aib al-Arnauth memiliki murid yang banyak. Di antaranya: Muhammad Na’im al-‘Arqasusi, Ibrahim az-Zaibeq, Adil Mursyid, Umar Hasan al-Qayyam, Abdul Lathif Hirazullah, Ahmad Barhum, Ridwan al-‘Arqasusi, dan Kamil Qurah Bilali.
Syaikh al-Arnauth memiliki perhatian besar terhadap kemampuan ilmiah murid-muridnya. Ia langsung memberikan beban penelitian kepada mereka yang telah ia akui kredibilitasnya. Metode dan gaya tahqiq hadits yang dilakukan oleh murid-murid Syaikh al-Arnauth sangat mirip dengan gurunya. Demikianlah memang, tradisi keilmuan seseorang akan terjaga dengan banyaknya murid. Sebagaimana madzhab yang empat, tetap terjaga hingga kini karena murid-murid empat imam tersebut mencatat, membukukan, dan mendakwahkan metodologi kajian fikih mereka. Sedangkan madzhab-madzhab fikih yang lain hilang, karena tidak ada yang mewariskan.
Syaikh Na’im al-‘Arqasusi berkata dalam pengantar tahqiq kitab Taudhih al-Musytabah karya Ibnu nashiruddin, “Kuucapkan terima kasih yang besar terkhusus kepada dia, yang bukan kalau karena perhatian dan bimbingannya, aku tidak mampu meneliti warisan-warisan Islam. Kepada dia yang pantas mendapatkan pernghormatan. Seorang yang mulia, yang terhormat guruku, Syaikh Syu’aib al-Arnauth hafizhahullah.”

Syaikh Ibrahim az-Zaibeq juga mengucapkan terima kasihnya kepada sang guru yang begitu berpengaruh pada keilmuannya. Ia mengucapkan terima kasihnya di pengantar tahqiq kitab Thabaqat Ulama al-Hadits karya Ibnu Abdul Hadi, “Selanjutnya.. apakah cukup kalimat syukur kupersembahkan kepada guruku syaikh-ku, Syu’aib al-Arnauth? Apakah cukup kalimat pujian dariku yang kutulis untuknya dengan penuh cinta yang tulus? Sungguh jasanya terhadapku lebih luas dari rasa terima kasih dan lebih mulia dari pujian. Sesungguhnya dia membukakan mataku tentang hakikat kehidupan. Aku mengalami perjalananku dengan pikiran yang tertunduk dan hati yang rendah, ia menjadikan hari-hariku menjadi tahun yang penuh arti dan berharga. Kemudian ia menggandeng tanganku memasuki dunia tahqiq… …Untukmu wahai guruku, terima kasih yang lebih luas dari terima kasih itu sendiri, pujian yang lebih agung dari pujian itu sendiri. Dan Allah yang menjadi penolongku membalasmu dengan sebaik-baik balasan.”
Alangkah indahnya penghormatan sang murid kepada gurunya ini.
Syaikh Umar Hasan al-Qayyam mengatakan dalam pengantar tahqiq-nya terhadap Risalah Ibnu Rajab al-Hanbali, “Dia memotivasiku untuk menempuh jalan ini, guruku al-muhaddits al-‘alamah Syu’aib al-Arnauth, salah seorang pakar hadits di masa sekarang ini.”
Hubungan Syaikh Syu’aib al-Arnauth dengan murid-muridnya layaknya hubungan pertemanan. Ia dekat dengan murid-muridnya. Memiliki semangat besar agar murid-muridnya mendapatkan kebaikan. Ia tidak memaksakan pendapatnya kepada murid-muridnya. Ia senang jika murid-muridnya memiliki keilmuan yang mandiri. Tidak jarang ia mengajak murid-muridnya berdiskusi dan bertukar pikiran. Hal inilah yang memiliki pengaruh luar biasa dalam perkembangan keilmiahan murid-muridnya.

Karya-Karya Penelitiannya
Buku-buku yang diteliti oleh Syaikh Syu’aib al-Arnauth tidak kurang dari 240 judul buku. Terdiri dari buku-buku hadits, fikih, tafsir Alquran, tarajim, akidah, mushthalah al-hadits, adab, dll.
Di antara buku yang ia teliti adalah:
Diterbitkan oleh Maktab al-Islami:
  1. Syarhu as-Sunnah karya al-Baghawi berjumlah 16 jilid,
  2. Raudhatu ath-Thalibin karya an-Nawawi. Penelitian bekerja sama dengan Syaikh Abdul Qadir al-Arnauth. Buku tersebut terdiri dari 12 jilid.
  3. Muhadzdzab al-Aghani karya Ibnu Manzhur berjumlah 12 jilid.
  4. Al-Mubdi’ fi Syarhi al-Muqni’ karya Ibnu Muflih al-Hanbali berjumlah 10 jilid.
  5. Zad al-Masir fi Ilmi at-Tafsir karya Ibnu al-Jauzi. Penelitian ini bekerja sama dengan Syaikh Abdul Qadir al-Arnauth. Buku tersebut terdiri dari 6 jilid.
  6. Mathalib Ulin Nuha fi Syarhi Ghayatu al-Muntaha karya ar-Ruhaibani. Penelitian ini bekerja sama dengan Syaikh Abdul Qadir al-Arnauth. Terdiri dari 6 jilid.
  7. Al-Kafi fi Fiqhi al-Imam al-Mubajjal Ahmad bin Hanbal karya Ibnu Qudamah. Penelitian ini bekerja sama dengan Syaikh Abdul Qadir al-Arnauth. Terdiri dari 3 jilid.
  8. Manaru as-Sabil fi Syarhi ad-Dalil karya Ibnu Dhuyan. Teridir dari 2 jilid.
  9. Al-Manazil wa ad-Diyar karya Usamah bin Munqidz. Terdiri dari dua jilid.
  10. Musnad Abu Bakar karya al-Marwazi. Terdiri dari dua jilid.
Siyar-Alam-an-Nubala, salah satu judul buku yang riwayatnya satu per satu diteliti oleh Syaikh Syu'aib al-Arnauth rahimahullah.
Siyar-Alam-an-Nubala, salah satu judul buku yang riwayatnya satu per satu diteliti oleh Syaikh Syu’aib al-Arnauth rahimahullah.
Diterbitkan oleh Muassasah ar-Risalah:
  1. Siyar A’lam an-Nubala karya adz-Dzahabi. Terdiri dari 20 jilid.
  2. Al-Ihsan fi Tarqrib Shahih Ibnu Hibban yang disusun oleh al-Amir Alaunddin al-Farisi. Terdiri dari 18 jilid.
  3. Sunan an-Nasai al-Kubra. Penelitian ini bekerja sama dengan Hasan Syalbi. Teridir dari 12 jilid.
  4. Al-‘Awashim wa al-Qawashim fi adz-Dzabbi ‘an Sunnati Abi al-Qasim karya Ibnu al-Wazir.
  5. Sunan at-Turmudzi. Terdiri dari 6 jilid.
  6. Sunan ad-Daruquthni. Penelitian ini bekerja sama dengan Hasan Syalbi. Terdiri dari 5 jilid.
  7. Zaad al-Ma’ad fi Hadyi Khoiri al-‘Ibad karya Ibnul Qayyim. Penelitian ini bekerja sama dengan Syaikh Abdul Qadir al-Arnauth. Terdiri dari 5 jilid.
  8. Tarikh al-Islam karya adz-Dzahabi. Penelitian ini bekerja sama dengan Dr. Basyar ‘Iwadh Ma’ruf. Syaikh al-Arnauth meneliti 4 jilid.
  9. At-Ta’liq al-Mumajjad Syarh Muwaththa Muhammad karya Abu al-Hasanat al-Lakuni. Terdiri dari 4 jilid.
  10. Musnad al-Imam Ahmad terdiri dari 5 jilid.
  11. Al-Adab asy-Syar’iyah wa al-Minah al-Mar’iyah karya Ibnu Muflih al-Hanbali. Penelitian ini bekerja sama dengan Umar Hasan al-Qayyam. Terdiri dari 4 jilid.
  12. Thabaqat al-Qurra’. Penelitian ini bekerja sama dengan Dr. Basyar Ma’ruf. Terdiri dari 2 jilid.
  13. Mawarid azh-Zham-an bi Zawa-id Shahih Ibnu Hibban karya al-Hasyimi. Penelitian ini bekerja sama dengan Ridhwan al-‘Arqasusi. Terdiri dari 2 jilid.
  14. Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyah karya Ibn Abi al-Iz. Penelitian ini bekerja sama dengan Dr. Abdullah at-Turki. Terdiri dari 2 jilid.
  15. Riyadhush Shalihin karya an-Nawawi. Teridir dari 2 jilid.
  16. Al-Marasil karya Abu Dawud. Terdiri dari 2 jilid.
Dua Ulama al-Aranauth
Selain Syaikh Syu’aib, ada lagi ulama lain yang berlaqob al-Arnauth, yaitu Syaikh Abdul Qadir al-Arnauth. Namun keduanya bukanlah saudara kandung. Keduanya memiliki kesamaan dari sisi:
Pertama: memiliki laqob al-Arnauth. Al-Arnauth sendiri laqob yang diberikan kepada orang-orang Balkan yang berasal dari al-Albani. Syaikh Abdul Qadir lahir di wilayah Kosovo, sedangkan Syaikh Su’aib berasal dari Albania.
Kedua: keduanya adalah ulama ahli tahqiq yang bekerja sama dengan al-Maktab al-Islami. Ada buku-buku yang mereka teliti bersama.
Porsi dakwah Syaikh Abdul Qadir al-Arnauth lebih besar pada ceramah dan mengajar. Sedangkan Syaikh Syu’aib al-Arnauth lebih memfokuskan diri dalam meneliti warisan-warisan Islam.

Wafatnya Sang Ahli Tahqiq
Syaikh Syu’aib al-Arnauth wafat pada hari Kamis 26 Muharram 1438 H bertepatan dengan 27 Oktober 2016. Beliau wafat di wilayah Yordania pada usia 88 tahun. Rahimahullah rahmatan wasi’atan.

Rujukan:
Buku al-Muhaddits Syu’aib al-Arnauth, Jawanib min Siratihi wa Juhudihi fi Tahqiq at-Turats oleh Dr. Ibrahim al-Kufihi. Dicetak oleh Dar al-Basyidr, Oman. Cetakan pertama. Tahun 1423 H/2002 M.
Sebagian besar isi tulisan merupakan terjemah dari http://islamstory.com/ar/%D8%B4%D8%B9%D9%8A%D8%A8-%D8%A7%D9%84%D8%A7%D8%B1%D9%86%D8%A4%D9%88%D8%B7

Jumat, 21 Oktober 2016

MAJMU FATAWA : Pembunuhan Husain bin Ali bin Abu Thalib

Banyak sekali bertebaran kisah-kisah tentang terbunuhnya Husain dari berbagai sumber terutama dari kalangan Syiah. Disini saya mencoba menyusun tulisan dari beberapa tulisan yang telah ada dengan mendasarkan pendapat-pendapat Ibnu Taimiyah dan juga Muridnya ibnu Katsir dalam kitabnya Al bidayah Wannihayah disertai sumber-sumber otentik dari hadits-hadits dan atsar yang telah sah.

Isyarat akan terbunuhnya Husain
Jauh hari sebelum Husain terbunuh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bercerita Kepada Ali bin Abi Thalib  bahwa Husain akan wafat dalam keadaan terbunuh. Adz-Dzahabi rahimahullah membawakan dari  dari ‘Ali, ia berkata:
“Aku datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika kedua mata beliau bercucuran air mata, lalu beliau bersabda: “Jibril baru saja datang, ia menceritakan kepadaku bahwa Husain kelak akan mati dibunuh. Kemudian Jibril berkata: “Apakah engkau ingin aku ciumkan kepadamu bau tanahnya?”. Aku menjawab: “Ya. Jibril lalu menjulurkan tangannya, ia menggenggam tanah satu genggaman. Lalu ia memberikannya kepadaku. Sehingga karena itulah aku tidak kuasa menahan air mataku”.[1]

Kronologi terbunuhnya Husain Radiyallahu anhu

Ketika Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu resmi menjadi khalifah, maka Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu juga sangat memuliakannya, bahkan sangat memperhatikan kehidupan Husain Radhiyallahu ‘anhu dan saudaranya, sehingga sering memberikan hadiah kepada keduanya. Tetapi, ketika Yazid bin Mu’awiyah diangkat sebagai khalifah, Husain Radhiyallahu ‘anhu bersama Ibnu Zubair Radhiyallahu ‘anhu termasuk yang tidak mau berbai’at. Bahkan penolakan itu terjadi sebelum Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu wafat ketika Yazid sudah ditetapkan sebagai calon khalifah pengganti Mu’awiyah.
Oleh karena itu, beliau berdua keluar dari Madinah dan lari menuju Mekah. Kemudian keduanya menetap di Makkah. Ibnu Zubair Radhiyallahu ‘anhu menetap di tempat shalatnya di dekat Ka’bah, sedangkan Husain Radhiyallahu ‘anhu di tempat yang lebih terbuka karena di kelilingi banyak orang.

Selanjutnya, banyak surat yang datang kepada Husain Radhiyallahu ‘anhu dari penduduk Irak membujuk beliau supaya memimpin mereka. Menurut isi surat, mereka siap membai’at Husain Radhiyallahu ‘anhu.dan surat-surat itu diantaranya juga berisi pernyataan gembira atas kematian Muawiyah Radhiyallahuanhu.[2]
kita ketahui penduduk Irak bahkan hinggan saat ini memang banyak diwarnai oleh pemikiran Rafidah (syiah) dan khawarij
Tidak cukup dengan surat saja, mereka terkadang mendatangi Husain radhiyallahu ‘anhu di Makkah, mengajak Beliau radhiyallahu ‘anhu berangkat ke Kufah dan berjanji akan menyediakan pasukan[3]. Para Sahabat seperti Ibnu Abbâs radhiyallahu ‘anhuma kerap kali menasehati Husain radhiyallahu ‘anhu agar tidak memenuhi keinginan mereka, karena ayah Husain radhiyallahu ‘anhu, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, dibunuh di Kufah dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu khawatir mereka membunuh Husain radhiyallahu ‘anhu juga disana.

Saat hendak berangkat dari Mekah menuju Irak, di negeri tempat beliau terbunuh, Husain Radhiyallahu ‘anhu meminta nasehat kepada Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma.
Maka, Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu ‘anhma berkata: “Kalaulah tidak dipandang tidak pantas, tentu aku kalungkan tanganku pada kepalamu (maksudnya hendak mencegah kepergiannya)”.
Maka Husain Radhiyallahu ‘anhu menjawab: “Sungguh jika aku terbunuh di tempat demikian dan demikian, tentu lebih aku sukai daripada aku mengorbankan kemuliaan negeri Mekah ini” [4]
Husain Radhiyallahu ‘anhu akhirnya tetap berangkat menuju Irak setelah sebelumnya mengutus Muslim bin ‘Aqil bin Abi Thalib ke Irak untuk mengadakan penyelidikan, dan akhirnya mendapat berita bahwa beliau harus segera ke Irak.[5]

Namun, ketika Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma tiba di Madinah, beliau mendengar berita bahwa Husain sedang menuju ke Irak. Mengingat betapa bahayanya Irak bagi Husain Radhiyallahu ‘anhuma, maka Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma pun menyusulnya untuk menyarankan agar Husain mengurungkan niatnya. Tetapi, karena harapan-harapan yang diberikan oleh orang-orang Irak, maka Husain tetap pada pendiriannya untuk berangkat ke Irak. Maka Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma pun dengan berat hati melepaskannya setelah sebelumnya memeluk Husain Radhiyallahu ‘anhu dan mengucapkan kata perpisahan. Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma berkata:
“Aku titipkan engkau kepada Allah dari kejahatan seorang pembunuh”.[6]
Demikianlah, akhirnya Husain bin ‘Ali Radhiyallahu ‘anhuma tetap berangkat ke Irak
Sebagian riwayat menyatakan bahwa Beliau radhiyallahu ‘anhu mengambil keputusan ini karena belum mendengar kabar tentang sepupunya, Muslim bin ‘Aqil, yang telah dibunuh disana.
Akhirnya, berangkatlah Husain radhiyallahu ‘anhu bersama keluarga menuju Kufah.

Sementara di pihak yang lain, ‘Ubaidullah bin Ziyâd diutus oleh Yazid bin Muawiyah untuk mengatasi pergolakan di Irak. Akhirnya, ‘Ubaidullah dengan pasukannya berhadapan dengan Husain radhiyallahu ‘anhu bersama keluarganya yang sedang dalam perjalanan menuju Irak. Pergolakan ini sendiri dipicu oleh orang-orang yang ingin memanfaatkan Husain radhiyallahu ‘anhu. Dua pasukan yang sangat tidak imbang ini bertemu, sementara orang-orang Irak yang (telah) membujuk Husain radhiyallahu ‘anhu, dan berjanji akan membantu dan menyiapkan pasukan justru melarikan diri meninggalkan Husain radhiyallahu ‘anhu dan keluarganya berhadapan dengan pasukan ‘Ubaidullah. Sampai akhirnya, terbunuhlah Husain radhiyallahu ‘anhu sebagai orang yang terzhalimi dan sebagai syahid. Kepalanya dipenggal lalu dibawa ke hadapan ‘Ubaidullah bin Ziyâd dan kepala itu diletakkan di bejana.

Dalam tragedi mengenaskan ini, di antara Ahlul Bait yang gugur bersama Al Husain adalah putera Ali bin Abi Thalib lainnya; Abu Bakar bin Ali, Umar bin Ali, dan Utsman bin Ali.
Demikian pula putera Al Hasan, Abu Bakar bin Al Hasan. Namun anehnya, ketika Anda mendengar kaset-kaset, ataupun membaca buku-buku Syiah yang menceritakan kisah pembunuhan Al Husain , nama keempat Ahlul Bait tersebut tidak pernah diungkit. Tentu saja, agar orang tidak berkata bahwa Ali memberi nama anak-anak beliau dengan nama-nama sahabat Rasulullah ; Abu Bakar, Umar, dan ‘Utsman. Tiga nama yang paling dibenci orang-orang Syiah.

Kemana perginya para pengirim ratusan surat itu? Mana 12.000 orang yang katanya akan berbaiat rela mati bersama Al Husain ?
Mereka tidak memberikan pertolongan kepada Muslim bin Uqail, utusan Al Husain yang beliau utus dari Makkah ke Kufah. Tidak pula berperang membantu Al Husain melawan pasukan Ibnu Ziyad. Maka tak heran jika sekarang orang-orang Syiah meratap dan menyiksa diri mereka setiap 10 Muharram, sebagai bentuk penyesalan dan permohonan ampun atas dosa-dosa para pendahulu mereka terhadap Al Husain .
Tidak mengherankan kalau Ibnu Umar menyalahkan penduduk irak sebagai pembunuh Husain dalam sebuah atsar yang diriwayatkan Oleh Al Imam Al bukhari haditss no. 3470
‏ ‏عن ‏ ‏ابن أبي نعم ‏ ‏قال كنت شاهدا ‏ ‏لابن عمر ‏ ‏وسأله رجل عن دم البعوض فقال : ممن أنت ؟ فقال : من ‏ ‏أهل ‏ ‏‏العراق ، ‏قال انظروا إلى هذا يسألني عن دم البعوض وقد قتلوا ابن النبي ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ،‏ ‏وسمعت النبي ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏يقول ‏ ‏هما ريحانتاي من الدنيا

Dari ibnu Abi Nuaim, dia berkata:” saya menyaksikan Abdullan bin Umar ketika ditanya oleh seseorang tentang darah nyamuk, Maka ibnu umar bertanya: “engkau darimana? Dia menjawab:”dari irak, Maka ibnu Umar berkata:”Lihatlah orang ini! Dia bertanya kepadaku tentang darah nyamuk padahal mereka telah membunuh cucu Rasulullah Shallalahu Alaihi Wasallam, Aku telah mendengar Rasullullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:”mereka berdua adalah Bunga rahanku didunia.

Kisah Kepala Husain
Riwayat yang paling shahih tentang kepala Husain telah dibawakan oleh Imam al-Bukhâri, nomor 3748:
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنِي حُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مُحَمَّدٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أُتِيَ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ بِرَأْسِ الْحُسَيْنِ فَجُعِلَ فِي طَسْتٍ فَجَعَلَ يَنْكُتُ وَقَالَ فِي حُسْنِهِ شَيْئًا فَقَالَ أَنَسٌ كَانَ أَشْبَهَهُمْ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ مَخْضُوبًا بِالْوَسْمَةِ
Aku diberitahu oleh Muhammad bin Husain bin Ibrâhîm, dia mengatakan; aku diberitahu oleh Husain bin Muhammad, kami diberitahu oleh Jarîr dari Muhammad dari Anas bin Mâlik radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan; ‘Kepala Husain dibawa dan didatangkan kepada ‘Ubaidullah bin Ziyâd. Kepala itu ditaruh di bejana. Lalu ‘Ubaidullah bin Ziyâd menusuk-nusuk (dengan pedangnya) seraya berkomentar sedikit tentang ketampanan Husain. Anas radhiyallahu ‘anhu mengatakan; ‘Diantara Ahlul-Bait, Husain adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Saat itu, Husain radhiyallahu ‘anhu disemir rambutnya dengan wasmah (tumbuhan, sejenis pacar yang condong ke warna hitam).
Lalu ‘Ubaidullah yang durhaka ini kemudian menusuk-nusuk hidung, mulut dan gigi Husain radhiyallahu ‘anhu, padahal disitu ada Anas bin Mâlik, Zaid bin Arqam dan Abu Barzah al-Aslami radhiyallahu ‘anhuma. Anas radhiyallahu ‘anhu mengatakan; “Singkirkan pedangmu dari mulut itu, karena aku pernah melihat mulut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium mulut itu!” Mendengarnya, orang durhaka ini mengatakan; “Seandainya saya tidak melihatmu sudah tua renta yang akalnya sudah rusak, maka pasti kepalamu saya penggal.
Dalam riwayat at-Tirmidzi dan Ibnu Hibbân dari Hafshah binti Sirîn dari Anas radhiyallahu ‘anhu dinyatakan:
Lalu ‘Ubaidullah mulai menusukkan pedangnya ke hidung Husain radhiyallahu ‘anhu.
Dalam riwayat ath-Thabrâni rahimahullah dari hadits Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu:
Lalu dia mulai menusukkan pedang yang di tangannya ke mata dan hidung Husain radhiyallahu ‘anhu. Aku (Zaid bin Arqam) mengatakan; ‘Angkat pedangmu, sungguh aku pernah melihat mulut Rasulullah (mencium) tempat itu.’
Demkian juga riwayat yang disampaikan lewat jalur Anas bin Mâlik radhiyallahu ‘anhu:
Aku (Anas bin Malik) mengatakan kepadanya; ‘Sungguh aku telah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium tempat dimana engkau menaruh pedangmu itu.’ Lalu Ubaidullah mengangkat pedangnya.
Dari sini, kita mengetahui betapa banyak riwayat palsu tentang peristiwa ini yang menyatakan bahwa kepala Husain radhiyallahu ‘anhu diarak sampai diletakkan di depan Yazid rahimahullah. Para wanita dari keluarga Husain radhiyallahu ‘anhu dikelilingkan ke seluruh negeri dengan kendaaraan tanpa pelana, ditawan dan dirampas. Semua ini merupakan kepalsuan yang dibuat Rafidhah (Syiah). Karena Yazid rahimahullah saat itu sedang berada di Syam, sementara kejadian memilukan tersebut berlangsung di Irak.
Syaikhul-Islam ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan;
“Al-Husain terbunuh di Karbala di dekat Eufrat dan jasadnya dikubur di tempat terbunuhnya, sedangkan kepalanya dikirim ke hadapan Ubaidillah bin Ziyad di Kufah.

Demikianlah yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya dan dari para imam yang lain.
Adapun tentang dibawanya kepala beliau kepada Yazid telah diriwayatkan dalam beberapa jalan yang munqathi’ (terputus) dan tidak benar sedikitpun tentangnya.
Bahkan dalam riwayat-riwayat tersebut tampak sesuatu yang menunjukkan kedustaan dan pengada-adaan. Disebutkan padanya bahwa Yazid menusuk gigi taringnya dengan besi dan sebagian para shahabat yang hadir seperti Anas bin Malik, Abi Barzah dan lain-lain mengingkarinya. (tidak suka, red)
Hal ini adalah pengaburan, karena sesungguhnya yang menusuk dengan besi adalah ‘Ubaidilah bin Ziyad. Demikian pula dalam kitab-kitab shahih dan musnad, bahwasanya mereka menempatkan Yazid di tempat ‘Ubaidilah bin Ziyad. Adapun ‘Ubaidillah, tidak diragukan lagi bahwa dialah yang memerintahkan untuk membunuhnya (Husain) dan membawa kepalanya ke hadapan dirinya. Dan akhirnya Ibnu Ziyad pun dibunuh karena itu.

Dan lebih jelas lagi bahwasanya para shahabat yang tersebut tadi seperti Anas dan Abi Barzah tidak berada di Syam, melainkan berada di Iraq ketika itu.
Sesungguhnya para pendusta adalah orang-orang jahil (bodoh), tidak mengerti apa-apa yang menunjukkan kedustaan mereka.”[7]
Adapun tempat yang selama ini dianggap sebagai kuburan Husain atau kuburan kepala Husain di Syam, di Asqalan, di Mesir atau di tempat lain, maka itu adalah dusta, tidak ada bukti sama sekali. Karena semua ulama dan sejarawan yang dapat dipercaya tidak pernah memberikan kesaksian tentang hal itu. Bahkan mereka menyebutkan bahwa kepala Husain dibawa ke Madinah dan dikuburkan di sebelah kuburan Hasan
Adapun yang dirajihkan oleh para ulama tentang kepala Al-Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhuma adalah sebagaimana yang disebutkan oleh az- Zubair bin Bukar dalam kitabnya Ansab Quraisy dan beliau adalah seorang yang paling ‘alim dan paling tsiqah dalam masalah ini (tentang keturunan Quraisy). Dia menyebutkan bahwa kepala Al-Husain dibawa ke Madinah An-Nabawiyah dan dikuburkan di sana. Hal ini yang paling cocok, karena di sana ada kuburan saudaranya Al-Hasan, paman ayahnya Al-Abbas dan anak Ali dan yang seperti mereka.[8]

Komentar Ibnu Taimiyah Tentang pembunuhan Husain
“Ketika Husain bin ‘Ali Radhiyallahu ‘anhuma terbunuh pada hari ‘Asyura, yang dilakukan oleh sekelompok orang zhalim yang melampaui batas, dan dengan demikian berarti Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuliakan Husain Radhiyallahu ‘anhuma untuk memperoleh kematian sebagai syahid, sebagaimana Allah Azza wa Jalla juga telah memuliakan Ahlu Baitnya yang lain dengan mati syahid, seperti halnya Allah Azza wa Jalla telah memuliakan Hamzah, Ja’far, ayahnya yaitu ‘Ali dan lain-lain dengan mati syahid. Dan mati syahid inilah salah satu cara Allah Azza wa Jalla untuk meninggikan kedudukan serta derajat Husain Radhiyallahu ‘anhuma. Maka, ketika itulah sesungguhnya Husain Radhiyallahu ‘anhuma dan saudaranya, yaitu Hasan Radhiyallahu ‘anhuma menjadi pemuka para pemuda Ahli sorga.” [9]

Kesyahidan Husain menurut Syaikhul Islam
“Husain Radhiyallahu ‘anhuma telah dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan mati syahid pada hari (‘Asyura) ini. Dengan peristiwa ini, Allah Azza wa Jalla juga berarti telah menghinakan pembunuhnya serta orang-orang yang membatu pembunuhan terhadapnya atau orang-orang yang senang dengan pembunuhan itu. Husain Radhiyallahu ‘anhuma memiliki contoh yang baik dari para syuhada yang mendahuluinya. Sesungguhnya Husain Radhiyallahu ‘anhuma dan saudaranya (yaitu Hasan) Radhiyallahu ‘anhuma merupakan dua orang pemuka dari para pemuda Ahli sorga. Keduanya merupakan orang-orang yang dibesarkan dalam suasana kejayaan Islam, mereka berdua tidak sempat mendapatkan keutamaan berhijrah, berjihad dan bersabar menghadapi beratnya gangguan orang kafir sebagaimana dialami oleh para Ahli Baitnya yang lain. Karena itulah, Allah Azza wa Jalla memuliakan keduanya dengan mati syahid sebagai penyempurna bagi kemuliaannya dan sebagai pengangkatan bagi derajatnya agar semakin tinggi. Pembunuhan terhadap Husain Radhiyallahu ‘anhuma ini merupakan musibah besar. Dan Allah Azza wa Jalla mensyari’atkan agar hamba-Nya ber-istirja’ (mengucapkan innâ lillâh wa innâ ilaihi raji’ûn) ketika mendapatkan musibah dengan firman-Nya:
“Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan:”Innâ lillâh wa innâ ilaihi râji’ûn “. Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” [al-Baqarah/2:155-157][10]

Semoga Kita dapat mengambil Pelajaran dari kisah ini.
Semoga bermanfaat.

Artikel ini merupakan saduran dari Tulisan Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin dan ustadz Abdul Hakim serta sumber-sumber lain dengan beberapa perubahan sesuai dengan Misi blog ini.

[1] Siyar A’lâm Nubalâ (III/288-289). Pentahqiq kitab ini (Muhammad Na’im al-‘Arqasusy dan Ma’mûn Shagharjiy) mengatakan, hadits itu dan yang senada diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Thabrani dan lain-lain, sedangkan para perawinya oleh al-Haitsami dikatakan sebagai para perawi yang tsiqah. [2] Al-Bidâyah wan Nihâyah (VIII/150)
[3] Mereka (penduduk irak) mengatakan telah menyediakan 12000 pasukan untuk mengamankan kedatangan Husain, Namun hingga Husain dipenggal kepalanya, tak ada satupun yang muncul.
[4] Siyar A’lâm Nubalâ (III/292). Pentahqiq kitab ini (Muhammad Na’im al-‘Arqasusy dan Ma’mûn Shagharji) mengatakan, riwayat ini diriwayatkan oleh ath-Thabrâni, sedangkan para perawinya oleh al-Haitsami dikatakan sebagai para perawi yang dipakai dalam kitab Shahîh.
[5] al-Bidâyah wan Nihâyah (VIII/153 dst)
[6] Siyar A’lâm Nubalâ (III/292)
[7] Majmû’ Fatâwa, ( IV/ 507)
[8] Majmû’ Fatâwa (XXVII/465)
[9] Majmû’ Fatâwa (XXV/302)
[10] Majmû’ Fatâwa (IV/511)


Baca Artikel yang terkait dengan ini  >> Syahidnya Sayyidina Husein Radhiallahu'anhu di Padang Karbala

Syahidnya Sayyidina Husein Radhiallahu'anhu di Padang Karbala

-Tulisan berikut ini diterjemahkan dari tulisan dan sebagian ceramah Syaikh Utsman al-Khomis, seorang ulama yang terkenal sebagai pakar dalam pembahasan Syiah-.

(Foto ini tidak terkait dengan kisah)


Pembahasan tentang terbunuhnya cucu Rasulullalllah, asy-syahid Husein bin Ali ‘alaihissalam telah banyak ditulis, namun beberapa orang ikhwan meminta saya agar menulis sebuah kisah shahih yang benar-benar bersumber dari para ahli sejarah. Maka saya pun menulis ringkasan kisah tersebut sebagai berikut –sebelumnya Syaikh telah menulis secara rinci tentang kisah terbunuhnya Husein di buku beliau Huqbah min at-Tarikh-.

Pada tahun 60 H, ketika Muawiyah bin Abu Sufyan wafat, penduduk Irak mendengar kabar bahwa Husein bin Ali belum berbaiat kepada Yazid bin Muawiyah, maka orang-orang Irak mengirimkan utusan kepada Husein yang membawakan baiat mereka secara tertulis kepadanya. Penduduk Irak tidak ingin kalau Yazid bin Muawiyah yang menjadi khalifah, bahkan mereka tidak menginginkan Muawiyah, Utsman, Umar, dan Abu Bakar menjadi khalifah, yang mereka inginkan adalah Ali dan anak keturunannya menjadi pemimpin umat Islam. Melalui utusan tersebut sampailah 500 pucuk surat lebih yang menyatakan akan membaiat Husein sebagai khalifah.

Setelah surat itu sampai di Mekah, Husein tidak terburu-buru membenarkan isi surat itu. Ia mengirimkan sepupunya, Muslim bin Aqil, untuk meneliti kebenaran kabar baiat ini. Sesampainya Muslim di Kufah, ia menyaksikan banyak orang yang sangat menginginkan Husein menjadi khalifah. Lalu mereka membaiat Husein melalui perantara Muslim bin Aqil. Baiat itu terjadi di kediaman Hani’ bin Urwah.

Kabar ini akhirnya sampai ke telinga Yazid bin Muawiyah di ibu kota kekhalifahan, Syam, lalu ia mengutus Ubaidullah bin Ziyad menuju Kufah untuk mencegah Husein masuk ke Irak dan meredam pemberontakan penduduk Kufah terhadap otoritas kekhalifahan. Saat Ubaidullah bin Ziyad tiba di Kufah, masalah ini sudah sangat memanas. Ia terus menanyakan perihal ini hingga akhirnya ia mengetahui bahwa kediaman Hani’ bin Urwah adalah sebagai tempat berlangsungnya pembaiatan dan di situ juga Muslim bin Aqil tinggal.

Ubaidullah menemui Hani’ bin Urwah dan menanyakannya tentang gejolak di Kufah. Ubaidullah ingin mendengar sendiri penjelasan langsung dari Hani’ bin Urwah walaupun sebenarnya ia sudah tahu tentang segala kabar yang beredar. Dengan berani dan penuh tanggung jawab terhadap keluarga Nabi (Muslim bin Aqil adalah keponakan Nabi), Hani’ bin Urwah mengatakan, “Demi Allah, sekiranya (Muslim bin Aqil) bersembunyi di kedua telapak kakiku ini, aku tidak akan memberitahukannya kepadamu!” Ubaidullah lantas memukulnya dan memerintahkan agar ia ditahan.

Mendengar kabar bahwa Ubaidullah memenjarakan Hani’ bin Urwah, Muslim bin Aqil bersama 4000 orang yang membaiatnya mengepung istana Ubaidullah bin Ziyad. Pengepungan itu terjadi di siang hari.
Ubaidullah bin Ziayd merespon ancaman Muslim dengan mengatakan akan mendatangkan sejumlah pasukan dari Syam. Ternyata gertakan Ubaidullah membuat takut Syiah (pembela) Husein ini. Mereka pun berkhianat dan berlari meninggalkan Muslim bin Aqil hingga tersisa 30 orang saja yang bersama Muslim bin Aqil, dan belumlah matahari terbenam hanya tersisa Muslim bin Aqil seorang diri.

Muslim pun ditangkap dan Ubaidullah memerintahkan agar ia dibunuh. Sebelum dieksekusi, Muslim meminta izin untuk mengirim surat kepada Husein, keinginan terakhirnya dikabulkan oleh Ubaidullah bin Ziyad. Isi surat Muslim kepada Husein adalah “Pergilah, pulanglah kepada keluargamu! Jangan engkau tertipu oleh penduduk Kufah. Sesungguhnya penduduk Kufah telah berkhianat kepadamu dan juga kepadaku. Orang-orang pendusta itu tidak memiliki pandangan (untuk mempertimbangkan masalah)”. Muslim bin Aqil pun dibunuh, padahal saat itu adalah hari Arafah.

Husein berangkat dari Mekah menuju Kufah di hari tarwiyah. Banyak para sahabat Nabi menasihatinya agar tidak pergi ke Kufah. Di antara yang menasihatinya adalah Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair, Abu Said al-Khudri, Abdullah bin Amr, saudara tiri Husein, Muhammad al-Hanafiyah dll.

Abu Said al-Khudri radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Sesungguhnya aku adalah seorang penasihat untukmu, dan aku sangat menyayangimu. Telah sampai berita bahwa orang-orang yang mengaku sebagai Syiahmu (pembelamu) di Kufah menulis surat kepadamu. Mereka mengajakmu untuk bergabung bersama mereka, janganlah engkau pergi bergabung bersama mereka karena aku mendengar ayahmu –Ali bin Abi Thalib- mengatakan tentang penduduk Kufah, ‘Demi Allah, aku bosan dan benci kepada mereka, demikian juga mereka bosan dan benci kepadaku. Mereka tidak memiliki sikap memenuhi janji sedikit pun. Niat dan kesungguhan mereka tidak ada dalam suatu permasalahan (mudah berubah pen.). Mereka juga bukan orang-orang yang sabar ketika menghadapi pedang (penakut pen.)’.
Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Aku hendak menyampaikan kepadamu beberapa kalimat. Sesungguhnya Jibril datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian memberikan dua pilihan kepada beluai antara dunia dan akhirat, maka beliau memilih akhirat dan tidak mengiginkan dunia. Engkau adalah darah dagingnya, demi Allah tidaklah Allah memberikan atau menghindarkan kalian (ahlul bait) dari suatu hal, kecuali hal itu adalah yang terbaik untuk kalian”. Husein tetap enggan membatalkan keberangkatannya. Abdullah bin Umar pun menangis, lalu mengatakan, “Aku titipkan engkau kepada Allah dari pembunuhan”.

Setelah meneruskan keberangkatannya, datanglah kabar kepada Husein tentang tewasnya Muslim bin Aqil. Husein pun sadar bahwa keputusannya ke Irak keliru, dan ia hendak pulang menuju Mekah atau Madinah, namun anak-anak Muslim mengatakan, “Janganlah engkau pulang, sampai kita menuntut hukum atas terbunuhnya ayah kami”. Karena menghormati Muslim dan berempati terhadap anak-anaknya, Husein akhirnya tetap berangkat menuju Kufah dengan tujuan menuntut hukuman bagi pembunuh Muslim.
Bersamaan dengan itu Ubaidullah bin Ziyad telah mengutus al-Hurru bin Yazid at-Tamimi dengan membawa 1000 pasukan untuk menghadang Husein agar tidak memasuki Kufah. Bertemulah al-Hurru dengan Husein di Qadisiyah, ia mencoba menghalangi Husein agar tidak masuk ke Kufah. Husein mengatakan, “Celakalah ibumu, menjauhlah dariku”. Al-Hurru menjawab, “Demi Allah, kalau saja yang mengatakan itu adalah orang selainmu akan aku balas dengan menghinanya dan menghina ibunya, tapi apa yang akan aku katakan kepadamu, ibumu adalah wanita yang paling mulia, radhiallahu ‘anha”.

Saat Husein menginjakkan kakinya di daerah Karbala, tibalah 4000 pasukan lainnya yang dikirim oleh Ubaidullah bin Ziyad dengan pimpinan pasukan Umar bin Saad. Husein mengatakan, “Apa nama tempat ini?” Orang-orang menjawab, “Ini adalah daerah Karbala.” Kemudian Husein menanggapi, “Karbun (musibah) dan balaa’ (bencana).”

Melihat pasukan dalam jumlah yang sangat besar, Husein radhiallahu ‘anhu menyadari tidak ada peluang baginya. Lalu ia mengatakan, “Aku ada dua alternatif pilihan, (1) kalian mengawal (menjamin keamananku) pulang atau (2) kalian biarkan aku pergi menghadap Yazid di Syam.

Engkau pergi menghadap Yazid, tapi sebelumnya aku akan menghadap Ubaidullah bin Ziyad terlebih dahulu kata Umar bin Saad. Ternyata Ubadiullah menolak jika Husein pergi menghadap Yazid, ia menginginkan agar Husein ditawan menghadapnya. Mendengar hal itu Husein menolak untuk menjadi tawanan.

Terjadilah peperangan yang sangat tidak imbang antara 73 orang di pihak Husein berhadapan dengan 5000 pasukan Irak. Kemudian 30 orang pasukan Irak dipimpin oleh al-Hurru bin Yazid at-Tamimi membelot dan bergabung dengan Husein. Peperangan yang tidak imbang itu menewaskan semua orang yang mendukung Husein, hingga tersisa Husein seorang diri. Orang-orang Kufah merasa takut dan segan untuk membunuhnya, masih tersisa sedikit rasa hormat mereka kepada darah keluarga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun ada seorang laki-laki yang bernama Amr bin Dzi al-Jausyan –semoga Allah menghinakannya- melemparkan panah lalu mengenai Husein, Husein pun terjatuh lalu orang-orang mengeroyoknya, Husein akhirnya syahid, semoga Allah meridhainya. Ada yang mengatakan Amr bin Dzi al-Jausyan-lah yang memotong kepala Husein sedangkan dalam riwayat lain, orang yang menggorok kepala Husein adalah Sinan bin Anas, Allahu a’lam. Yang perlu pembaca ketauhi Ubaidullah bin Ziyad, Amr bin Dzi al-Jausyan, dan Sinan bin Anas adalah pembela Ali (Syiah nya Ali) di Perang Shiffin.

Ini adalah sebuah kisah pilu yang sangat menyedihkan, celaka dan terhinalah orang-orang yang turut serta dalam pembunuhan Husein dan ahlul bait yang bersamanya. Bagi mereka kemurkaan dari Allah. Semoga Allah merahmati dan meridhai Husein dan orang-orang yang tewas bersamanya. Di antara ahlul bait yang terbunuh bersama Husein adalah:
–          Anak-anak Ali bin Abi Thalib: Abu Bakar, Muhammad, Utsman, Ja’far, dan Abbas.
–          Anak-anak Husein bin Ali: Ali al-Akbar dan Abdullah.
–          Anak-anak Hasan bin Ali: Abu Bakar, Abdullah, Qosim.
–          Anak-anak Aqil bin Abi Thalib: Ja’far, Abdullah, Abdurrahman, dan Abdullah bin Muslim bin Aqil.
–          Anak-anak dari Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib: ‘Aun dan Muhammad.

Dari Ummu Salamah bawasanya Jibril datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “…Jibril mengatakan, “Apakah engkau mencintai Husein wahai Muhammad?” Nabi menjawab, “Tentu” Jibril melanjutkan, “Sesungguhnya umatmu akan membunuhnya. Kalau engkau mau, akan aku tunjukkan tempat dimana ia akan terbunuh.” Kemudian Nabi diperlihatkan tempat tersebut, sebuah tempat yang dinamakan Karbala. (HR. Ahmad dalam Fadhailu ash-Shahabah, ia mengatakan hadis ini hasan). Adapun berita-berita bahwa langit menurunkan hujan darah, dinding-dinding berdarah, batu yang diangkat lalu di bawahnya terdapat darah, dll. karena sedih dengan tewasnya Husein, berita-berita ini tidak bersumber dari rujukan yang shahih.

Benarkah Sikap Husein ‘alaihissalam Pergi ke Irak?
Tidak ada kemaslahatan dalam hal dunia maupun akhirat dari sikap Husein ‘alaihissalam yang keluar menuju Irak. Oleh karena itu, banyak sahabat Nabi yang berusaha mencegahnya dan melarangnya berangkat ke Irak. Husein pun menyadari hal itu dan ia sempat hendak pulang, namun anak-anak Muslim bin Aqil memintanya mengambil sikap atas terbunuhnya ayah mereka. Husein dengan penuh tanggung jawab tidak lari dari permasalahan ini. Dari peristiwa ini tampaklah kezaliman dan kesombongan orang-orang Kufah (Syiah-nya Husein) terhadap ahlul bait Nabi ‘alaihumu ash-shalatu wa salam.
Sekiranya Husein ‘alaihissalam menuruti nasihat para sahabat tentu tidak terjadi peristiwa ini, akan tetapi Allah telah menetapkan takdirnya. Terbunuhnya Husein ini tentu saja tidak sebesar peristiwa terbunuhnya para Nabi, semisal dipenggalnya kepala Nabi Yahya oleh seorang raja, karena calon istri raja tersebut meminta kepala Nabi Yahya bin Zakariya sebagai mahar pernikahan. Demikian juga dibunuhnya Nabi Zakariya oleh Bani Israil, dan nabi-nabi lainnya. Demikian juga dengan dibunuhnya Umar dan Utsman. Semua kejadian itu lebih besar dibanding dengan peristiwa dibunuhnya Husein ‘alaihissalam.

 Bagaimana Sikap Kita Terhadap Peristiwa Karbala?
Tidak diperbolehkan bagi umat Islam, apabila disebutkan tentang kematian Husein, maka ia meratap dengan memukul-mukul pipi atau merobek-robek pakaian, atau bentuk ratapan yang semisalnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukan termasuk golongan kami, orang-orang yang menampar-nampar pipi dan merobek saku bajunya.” (HR. Bukhari).
Seorang muslim yang baik, apabila mendengar musibah ini hendaknya ia mengatakan sebuah kalimat yang Allah tuntunkan dalam firman-Nya,
الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُواْ إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعونَ
“Orang-orang yang apabila mereka ditimpa musibah, mereka mengtakan sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya lah kami akan kembali.” (QS. Al-Baqarah: 155)
Tidak pernah diriwayatkan bahwa Ali bin Husein atau putranya Muhammad, atau Ja’far ash-Shadiq atau Musa bin Ja’far radhiallahu ‘anhum, para imam dari kalangan ahlul bait maupun selain mereka pernah memukul-mukul pipi mereka, atau merobek-robek pakaian atau berteriak-teriak, dalam rangka meratapi kematian Husein. Tirulah mereka kalau engkau tidak bisa serupa dengan mereka, karena meniru orang-orang yang mulia itu adalah kemuliaan.
Tidak seperti orang-orang yang mengaku Syiah (pembela) Husein, Syiahnya ahlul bait Nabi pada hari ini, mereka merusak anggota tubuh, memukul kepala dan tubuh dengan pedang dan rantai, mereka katakan kami bangga menyucurkan darah bersama Husein. Demi Allah, sekiranya mereka berada pada hari dimana Husein terbunuh mereka akan turut serta dalam kelompok pembunuh Husein karena mereka adalah orang-orang yang selalu berhianat.

Posisi Yazid Dalam Peristiwa Ini
Dalm permasalahan ini, Yazid sama sekali tidak turut campur. Aku mengakatakan hal ini bukan untuk membela Yazid tetapi hanya untuk mendudukan permasalahan yang sebenarnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Yazid bin Muawiyah tidak memerintahkan untuk membunuh Husein. Ini adalah kesepatakan para ahli sejarah. Yazid hanya memerintahkan Ubaidullah bin Ziyad agar mencegah Husein untuk memasuki wilayah Irak. Ketika Yazid mendengar tewasnya Husein, Yazid pun terkejut dan menangis. Setelah itu Yazid memuliakan keluarga Husein dan mengamankan anggota keluarga yang tersisa sampai ke daerah mereka. Adapun riwayat yang menyatakan bahwa Yazid merendahkan perempuan-perempuan ahlul bait lalu membawa mereka ke Syam, ini adalah riwayat yang batil. Bani Umayyah (keluarga Yazid) selalu memuliakan Bani Hasyim (keluarga Rasulullah).
Sebelumnya Yazid telah mengirim surat kepada Husein ketika di Mekah, ternyata saat surat itu tiba Husein telah berangkat menuju Irak. Surat itu berisikan syair dari Yazid untuk melunakkan hati Husein agar tidak berangkat ke Irak dan Yazid juga menyatakan kedekatan kekerabatan mereka. Bibi Yazid, Ummu Habibah adalah istri Rasulullah dan kakek (Jawa: mbah buyut) Yazid dan Husein adalah saudara kembar.

Kepala Husein
Tidak ada riwayat yang shahih yang menyatakan bahwa kepala Husein dikirim kepada Yazid di Syam. Husein tewas di Karbala dan kepalanya didatangkan kepada Ubaidullah bin Ziyad. Tidak diketahui dimana makamnya dan makam kepalanya.
Wallahu Ta’ala a’la wa a’lam, wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.
Sumber: almanhaj.net

Kamis, 13 Oktober 2016

Kisah Wafatnya Sayyidina Umar bin al-Khattab






 
Saat-saat Akhir Kehidupan

Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma mengisahkan kepada kita tentang saat-saat terakhir kehidupan Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu:
Aku menemui Umar setelah ia terluka karena ditikam. Kukatakan padanya, “Bergembiralah dengan surga wahai Amirul Mukminin. Engkau memeluk Islam ketika orang-orang masih kufur. Engkau berjihad bersama Rasulullah ﷺ ketika orang-orang tidak membelanya. Saat Rasulullah ﷺ wafat, beliau ridha padamu. Tidak terjadi perselisihan (sengketa) pada masa kekhalifahanmu. Dan engkau wafat dalam keadaan syahid.”
Ia menanggapi ucapanku dengan mengatakan, “Ulangi apa yang kau ucapkan.” Aku pun mengulanginya.
Kemudian ia menjawab, “Demi Allah, yang tidak ada sesembahan yang benar kecuali Dia. Sekiranya aku memiliki emas dan perak sepenuh bumi, niscaya akan kutebus (agar selamat) dari sesuatu yang menakutkan (kiamat).”

Dalam riwayat al-Bukhari, Umar mengatakan, “Perkataanmu, aku menjadi sahabat Rasulllah ﷺ dan ia ridha padaku. Itu semua karunia dari Allah Jalla Dzikruhu yang Dia berikan padaku. Kesedihanku yang kau saksikan adalah karena engkau dan sahabat-sahabatmu. Demi Allah, seandainya aku memiliki emas sepenuh bumi, pasti akan kutebus diriku agar selamat dari adzab Allah ﷻ. Sebelum aku menyaksikan adzab itu.”
Maksud dari engkau dan sahabat-sahabatmu adalah kalian semua rakyatku. Aku diminta pertanggung-jawaban atas kalian. Itu yang membuatku sedih.

Orang yang menyaksikan pemerintahan Umar dan juga membaca sejarah hidupnya, bersaksi bahwa Umar adalah pemimpin yang adil. Rasulullah ﷺ menyebutkan 7 golongan yang dilindungi oleh Allah ﷻ di padang mahsyar, di antaranya adalah pemimpin yang adil. Dan beliau ﷺ secara langsung menyebutkan, “Umar di dalam surga”. Namun hati Umar tidak lengah karena itu semua. Ia tetap takut kepada Allah. Takut akan tanggung jawab yang dipinta di hari kiamat. Sikap Umar bukan hanya sebuah bacaan. Bukan juga bahan untuk membanding-bandingkan. Apalagi mengukur dan mencela orang lain. Renungkan untuk diri kita sendiri. Umar saja demikian, mestinya kita lebih-lebih lagi. Karena di akhirat, Allah memintai pertanggung-jawaban masing-masing. Kita tidak ditanya tentang apa yang orang lain lakukan.

Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu berkisah mengenang Umar bin al-Khattab:
Aku termasuk yang terakhir menjenguk Umar. Aku masuk menemuinya. Saat itu kepalanya berada di pangkuan anaknya, Abdullah bin Umar. Umar berkata, “Letakkan saja kepalaku di tanah!” “Bukankah sama saja, di pahaku atau di tanah”, jawab Abdullah. Umar mengulangi perintahnya, “Letakkan pipiku di tanah, celaka engkau!” dia mengatakan itu yang kedua atau yang ketiga.
Kemudian Umar merapatkan kedua kakinya, “Celaka aku dan celaka ibuku, kalau Allah belum juga mengampuniku.” Kemudian ruhnya berpisah dari jasadnya. (HR. al-Bukhari dalam Kitab Fadhail ash-Shahabah, No. 3692).

Sampai tingkat seperti ini rasa khasy-yah (takut) Amirul Mukminin Umar radhiallahu ‘anhu kepada Allah Yang Maha Mulia. Akhir ucapannya adalah doa. ‘Alangkah celaka dan rugi kiranya ampunan Sang Maha Penyayang belum aku dapatkan’. Rasa takut dan khawatirnya hingga detik-detik menjelang ajal. Ia hinakan diri di hadapan Allah. Tak mau mengemis kepada Allah dalam keadaan dimuliakan. Ia pinta putranya meletakkan kepalanya di tanah, jangan dipangku. Agar doa itu lebih mungkin untuk diterima. Tergambar di benak kita, alangkah hebatnya usaha Umar menghadirkan Allah dalam hatinya.
Tempat Umar ditikam oleh Abu Lu'lu'ah al-Majusi
Tempat Umar ditikam oleh Abu Lu’lu’ah al-Majusi
Tanggal Wafat
Imam adz-Dzahabi rahimahullah mengatakan, “Umar syahid pada hari Rabu, saat bulan Dzul Hijjah tersisa 4 atau 3 hari saja. Tahun 23 H. Saat itu umurnya 63 tahun. Kekhilafahannya berlangsung selama 10 tahun, 6 bulan, dan beberapa hari.
Termaktub dalam Tarikh Abi Zur’ah, dari Jarir bin Abdillah al-Bajaly, ia mengatakan, “Aku pernah bersama Muawiyah. Ia berkata, ‘Rasulullah ﷺ wafat pada usia 63 tahun. Abu Bakar wafat juga di usia 63 tahun. Dan Umar syahid juga di usia 63 tahun.” (Riwayat Muslim dalam Fadhail ash-Shahabah, No. 2352).

Prosesi Pemandian Jenazah
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma, “Ia dimandikan dan dikafani. Kemudian dishalatkan. Dan ia wafat dalam keadaan syahid.” (ath-Thabaqat, 3/366. Sanadnya shahih).
Para ulama berbeda pendapat tentang seseorang yang dibunuh secara zalim. Apakah statusnya seperti seorang yang syahid (di medan perang), dimandikan atau tidak. Yang berpendapat dimandikan, mereka berdalil dengan dimandikannya Umar bin al-Khattab ini. Pendapat kedua: tidak dimandikan dan dishalatkan. Mereka juga berdalil dengan kisah Umar. Umar masih hidup beberapa hari setelah ditikam. Masih diberi makan dan minum. Berbeda halnya dengan orang-orang yang mati syahid dalam peperangan (al-Inshaf oleh al-Murdawai, 2/503 dan Mahadh ash-Shawab, 3/844/845).

Shalat Jenazah
Imam adz-Dzhabai mengatakan, “Shuhaib bin Sinan menjadi imam shalat jenazah Umar”.
Ibnu Saad mengatakan, “Ali bin al-Husein bertanya kepada Said bin al-Musayyib, ‘Siapa yang menjadi imam shalat jenazah Umar?’ “Shuhaib bin Sinan,” jawab Said. “Dengan berapa takbir?” Ali bin al-Husein kembali bertanya. “Empat,” jawab Said. “Dimana dia dishalatkan?” tanya Ali lagi. “Antara kubur Nabi dan mimbar beliau,” jawab Said.
Kemudian Said bin al-Musayyib menjelaskan mengapa yang dipilih menjadi imam adalah Shuhaib bin Sinan. Bukan enam orang sahabat yang utama yang ada saat itu. “Kaum muslimin memandang, apabila Shuhaib menjadi imam dalam shalat wajib atas perintah Umar, tentu dia layak dikedepankan menjadi imam shalat jenazahnya. Umar tidak melebihkan salah seorang dari enam sahabat yang ditunjuk untuk bermusyawarah dalam permasalahan khilafah. Sehingga orang-orang  tidak menyangka, ia mengutamakan salah satunya.” jelas Said bin al-Musayyib (ath-Thabaqat, 3/366).
Shuhaib ditunjuk menjadi imam shalat menggantikan Umar, 3 hari menjelang wafatnya. Ia dipilih menjadi imam, bukan salah satu dari enam orang ahli syura, agar orang-orang tidak langsung menunjuk salah satu darimenjadi khalifah tanpa musyawarah. Enam orang tersebut adalah: Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Saad bin Abi Waqqash, az-Zubair bin al-Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah radhiallahu ‘anhum.

Ada satu orang sahabat lagi yang termasuk orang yang diridhai oleh Rasulullah ﷺ. Ia juga termasuk 10 orang yang dijamin surga. Namun tidak disertakan Umar dalam musyawarah. Dialah Said bin Zaid radhiallahu ‘anhu. Barangkali Umar khawatir, Said akan ditunjuk sebagai penggantinya karena kedekatan hubungan keluarga. Said bin Zaid adalah adik ipar Umar bin al-Khattab.

Prosesi Pemakaman
Adz-Dzhabi mengatakan, “Umar dimakamkan di kamar Nabi”.
Ibnul Jauzi menyebutkan riwayat dari Jabir. Jabir mengatakan, “Utsman, Said bin Zaid, Shuhaib, dan Abdullah bin Umar adalah orang-orang yang turun memasukkan Umar ke liang makamnya.”
Pada tahun 88-91 H, di zaman pemerintahan al-Walid bin Abdul Malik, Masjid Nabawi mengalami perluasan. Dan rumah Aisyah dimasukkan dalam pelebaran. Ada suatu kejadian yang menunjukkan benarnya sabda Rasulullah ﷺ bahwa jasad orang yang syahid tidak hancur. Dari Hisyam bin Aurah, ia berkata, “Ketika tanah kubur (kubur Nabi ﷺ, Abu Bakar, dan Umar radhiallahu ‘anhuma) runtuh karena pemugaran di zaman pemerintahan al-Walid bin Abdul Malik. Tampaklah satu kaki. Orang-orang pun merasa takut. Mereka khawatir kalau itu kaki Nabi ﷺ. Tak ada seorang pun di antara mereka yang tahu kaki siapa itu. Lalu Aurah bin az-Zubair (ulama tabi’in) berkata kepada mereka, ‘Tidak, demi Allah, itu bukan kaki Nabi ﷺ. Itu adalah kakinya Umar radhiallahu ‘anhu’.”
Kita ketahui bahwa Umar meminta izin kepada Aisyah agar dikubur bersama kedua sahabatnya. Dan Aisyah lebih mendahulukan Umar dari dirinya. Padahal ia ingin dimakamkan bersama suaminya (Rasulullah ﷺ) dan ayahnya (Abu Bakar). Hisyam bin Aurah bin az-Zubair mengatakan, “Apabila ada seorang sahabat yang meminta izin lagi dengannya, Aisyah mengatakan, ‘Demi Allah, aku tidak mengutamakan seorang pun lagi’.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab al-Janaiz No. 1326).
Tidak ada perbedaan pendapat ulama, bahwa kubur-kubur yang berada di Masjid Nabawi adalah kubur Rasulullah ﷺ, Abu Bakar, dan Umar.

Persahabatan Sejati Hingga Mati
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan, “Umar diletakkan di atas tempat tidurnya. Lalu orang-orang mengkafaninya. Setelah itu mereka mendoakan dan menyalatkannya. Sebelum jasadnya dibopong -saat itu aku berada di antara mereka-, ada seseorang yang memegang pundakku. Ternyata Ali bin Abi Thalib. Ia bersedih dengan meninggalnya Umar. Ia mengatakan, “Tak ada seorang pun yang aku ingin berjumpa dengan Allah, memiliki amalan seperti yang telah ia perbuat, kecuali engkau (wahai Umar). Aku percaya, Allah akan mengumpulkanmu bersama dua orang sahabatmu. Karena aku sering mendengar Nabi ﷺ mengatakan, ‘Aku pergi bersama Abu Bakar dan Umar. Aku masuk bersama Abu Bakar dan Umar. Dan Aku keluar bersama Abu Bakar dan Umar’(Riwayat al-Bukhari dalam Kitab Fadhail ash-Shahabah No. 3482).
Inilah persahabatan sejati. Rasulullah ﷺ, Abu Bakar, dan Umar selalu bersama dalam kehidupan. Kemudian Allah bersamakan mereka dengan dekatnya liang kuburan. Di akhirat Allah kumpulkan mereka dalam surganya. Semoga kita juga dikumpulkan bersama mereka.

Duka Atas Wafatnya Umar
Peristiwa wafatnya Umar adalah duka yang begitu mengejutkan. Kematiannya tidak didahului sakit yang ia derita. Kesedihan itu kian bertambah, karena Umar bersama mereka, mengimami mereka shalat. Tentu kepergiannya benar-benar menancapkan duka di jiwa.
Amr bin Maimun mengatakan, “…seolah-olah masyarakat tidak pernah mengalami musibah sebelum hari itu”.
Ibnu Abbas bercerita tentang keadaan orang-orang setelah Umar terluka, “Sungguh tidak dilewati seseorang kecuali mereka menangis. Seolah-olah mereka kehilangan anak-anak mereka yang masih kecil”. Ibnu Abbas menggambarkan duka dan tangisan mereka dengan kehilangan seorang anak kecil. Usia anak saat sedang lucu-lucunya. Jika mereka tiada, maka akan begitu kehilangan rasanya. Itulah ekspresi kesedihan masyarakat tatkala mendengar kabar bahwa Umar sedang kritis.

Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, apabila diceritakan tentang Umar, maka ia menangis. Air matanya berbulir-bulir menetes. Ia mengatakan, “Sesungguhnya Umar adalah benteng umat Islam. Mereka masuk dan tidak akan keluar dari benteng itu (maksudnya aman). Ketika ia wafat, benteng itu pun pecah. Orang-orang keluar dari Islam.” Artinya dengan wafatnya Umar, muncul perpecahan dan aliran-aliran sesat. Orang-orang keluar dari bimbingan Islam.

Sebelum Umar terbunuh, Abu Ubaidah Ibnul Jarah radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Jika Umar wafat, maka Islam akan (mulai) mundur. Dan aku tidak ingin merasakan kehidupan setelah wafatnya Umar”. Kemudian ada yang bertanya, “Mengapa?” “Kalian akan menyaksikan sendiri kebenaran ucapanku, jika usia kalian panjang. Pemimpin setelah Umar meskipun mengambil hal yang sama dengan Umar, mereka tidak akan ditaati. Dan orang-orang tidak mendukungnya. Jika mereka lemah, maka mereka akan diperangi.” (ath-Thabaqat al-Kubra, 3/284).
Maksudnya, pemimpin setelah Umar, meskipun mereka berhukum dengan Alquran dan Sunnah. Sama seperti Umar. Mereka tetap tidak akan ditaati bahkan tidak didukung penuh. Karena mulai muncul pemahaman yang berbeda terhadap Alquran dan Sunnah. Muncul pemikiran-pemikiran sesat. Dan apa yang diucapkan Abu Ubaidah sangat tampaknya nyata. Terlebih di zaman kita. Orang yang berusaha menempuh jalan Umar, berhukum dengan hokum syariat, akan ditentang. Ketika kekuasaan mereka lemah, mereka akan diberontak.

Sumber: Tulisan Ali ash-Shalabi yang berjudul Istisyhad Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu.

Kisah Terbunuhnya Khalifah Umar bin Khathab Radhiallahu'anhu




Di tempat inilah Amirul Mukmin Umar bin Khathab ditikam oleh Abu Lu’lu’ah Al-Majusy –alaihi minallah ma yastahiq-. Masih lekat dalam ingatan saat dosen sejarah menunjukkan tempat ini pada kami, saat itu beliau bercerita sambil menitikkan air mata.


Tahukah anda..?
Bahwa saat sedang wukuf di Arafah di tahun terakhirnya Umar pernah meminta kepada Allah agar syahid di jalan-Nya dan wafat di kota nabi-Nya.


 Beliau berdo’a:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ شَهَادَةً فِي سَبِيلِكَ وَوَفَاةً بِبَلَدِ رَسُولِكَ
Ya Allah aku memohon agar syahid di jalanMu dan wafat di negeri RasulMu (Madinah)” (HR. Malik)
Sekembalinya dari menunaikan ibadah haji, beliau menceritakan perihal doanya itu kepada salah seorang sahabatnya di kota Madinah. Sahabatnya lalu berkata: “Wahai Khalifah, itu tidak mungkin disini. Bila anda menginginkan syahid maka keluarlah untuk berjihad, niscaya engkau akan menemuinya”.

Lalu Umar pun menjawab dengan tenang ”Aku telah memintanya kepada Allah. Maka biarlah menurut kehendak Allah.”
Keesokan paginya Umar memimpin sholat subuh di Masjid Nabawi, lalu terjadilah apa yang terjadi. Di tengah kegelapan subuh Abu Lu’lu’ah menikam Amirul Mukminin dan 13 orang yang ada di belakangnya, sebelum akhirnya ia menikam dirinya sendiri. Kepemimpinan sholat dilanjutkan oleh Abdurrahman bin Auf –radhiallahu’anhu-.

Setelah peristiwa itu nyawa Umar tak bertahan lama, ia wafat tiga hari kemudian dan dikebumikan di sisi makam Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan Abu Bakar radhiallahu’anhu pada hari Ahad di awal bulan Muharram tahun 24 H.
Semoga Allah merahmatimu wahai Umar. Dan semoga Allah membalas semua jasamu untuk umat ini.

Catatan:
Atsar ini menunjukkan bahwa siapa yang mengharapkan syahid di jalan Allah, maka ia akan meraihnya sekalipun ia meninggal diatas kasurnya. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam:
مَنْ سَأَلَ اللَّهَ الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ بَلَّغَهُ اللَّهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ
Barangsiapa memohon dengan jujur kepada Allah agar mati syahid, maka Allah akan sampaikan ia kepada kedudukan para syuhada walaupun ia mati di atas ranjangnya.” (HR Muslim 3532)
Semoga Allah mewafatkan kita sebagai Syahid di jalan-Nya.


***
Penulis: Ustadz Aan Chandra Thalib Lc.
Artikel Muslim.or.id

Senin, 26 September 2016

Surat Balasan Untuk Ibu

Kepada yang tercinta
Bundaku, yang ku sayang
 
Segala puji bagi Allah ta’ala yang telah memuliakan kedudukan kedua orang tua, dan telah menjadikan mereka berdua sebagai pintu tengah menuju surga. Shalawat serta salam, hamba yang lemah ini panjatkan keharibaan Nabi yang mulia, keluarga serta para sahabatnya hingga hari kiamat. Amin…

Ibu…
Aku terima suratmu, yang engkau tulis dengan tetesan air mata dan duka, dan aku telah membacanya, ya aku telah mengejanya kata demi kata… tidak ada satu huruf pun yang aku terlewatkan.

Tahukah engkau, wahai Ibu, bahwa aku membacanya semenjak shalat Isya’ dan baru selesai membacanya setelah ayam berkokok, fajar telah terbit dan adzan pertama telah dikumandangkan?! Sebenarnyalah surat yang engkau tulis tersebut jika ditaruhkan di atas batu, tentu ia akan pecah, sekiranya diletakkan ke atas daun yang hijau tentu dia akan kering. Sebenarnyalah surat yang engkau tulis tersebut tidak tersudu oleh itik dan tidak tertelan oleh ayam.

Sebenarnyalah bahwa suratmu itu bagiku bagaikan petir kemurkaan… bagaikan awan kaum Tsamud yang datang berarak yang telah siap dimuntahkan kepadaku…

Ibu…
Aku baca suratmu, sedangkan air mataku tidak pernah berhenti!! Bagaimana tidak, sekiranya surat itu ditulis oleh orang yang bukan ibu dan ditujukan pula bukan kepadaku, layaklah orang mempunyai hati yang keras ketika membaca surat itu menangis sejadi-jadinya. Bagaimana kiranya yang menulis itu adalah bunda dan surat itu ditujukan untuk diriku sendiri!!

Aku sering membaca kisah dan cerita sedih, tidak terasa bantal yang dijadikan tempat bersandar telah basah karena air mata, aku juga sering menangis melihat tangisnya anak yatim atau menitikkan air mata melihat sengsaranya hidup si miskin. Aku acap kali tersentuh dengan suasana yang haru dan keadaan yang memilukan, bahkan pada binatang sekalipun. Bagaimana pula dengan surat yang ibu tulis itu!? Ratapan yang bukan ibu karang atau sebuah drama yang ibu perankan?! Akan tetapi dia adalah sebuah kenyataan…
Bunda yang kusayangi…

Sungguh berat cobaanmu… sungguh malang penderitaanmu… semua yang engkau telah sebutkan benar adanya. Aku masih ingat ketika engkau ditinggal ayah pada masa engkau hamil tua mengandung adikku. Ayah pergi entah kemana tanpa meninggalkan uang belanja, jadilah engkau mencari apa yang dapat dimasak di sekitar rumah dari dedaunan dan tumbuhan. Dengan jalan berat engkau melangkah ke kedai untuk membeli ala kadarnya, sambil engkau membisikkan kepada penjual bahwa apa yang engkau ambil tersebut sebagai hutang dan hendaklah dicatat dulu. Hutang yang engkau sendiri tidak tahu kapan engkau akan dapat melunasinya.

Ibu… aku masih ingat ketika kami anak-anakmu menangis untuk dibuatkan makanan, engkau tiba-tiba menggapai atap dapur untuk mengambil kerak nasi yang telah lama engkau jemur dan keringkan, tidak jarang pula engkau simpan untukku sepulang sekolah tumbung kelapa, hanya untuk melihat aku mengambilnya dengan segera. Atau aku masih ingat, engkau sengaja mengambilkan air didih dari nasi yang sedang dimasak, ketika engkau temukan aku dalam keadaan sakit demam.

Ibu… maafkanlah anakmu ini, aku tahu bahwa semenjak engkau gadis sebagaimana yang diceritakan oleh nenek sampai engkau telah tua sekarang, engkau belum pernah mengecap kebahagiaan. Duniamu hanya rumah serta halamannya, kehidupanmu hanya dengan anak-anakmu. Belum pernah aku melihat engkau tertawa bahagia kecuali ketika kami anak-anakmu datang ziarah kepadamu. Selain dari itu tidak ada kebahagiaan, hari-harimu adalah perjuangan. Semua hidupmu hanya pengorbanan.

Ibu…
Maafkan aku anakmu ini! Semenjak engkau pilihkan untukku seorang istri, wanita yang telah engkau puji sifat dan akhlaknya, yang engkau telah sanjung pula suku dan negerinya!! Engkau katakan ketika itu padaku, “Ambilah ia sebagai istrimu, gadis yang pemalu yang pandai bergaul, cantik dan berakhlak mulia, punya hasab dan nasab!.”

Semenjak itu pula, aku, seakan-akan lupa denganmu.. Keberadaan dia sebagai istriku telah membuatku lupa posisi engkau sebagai ibuku, senyuman dan sapaannya telah membuatku terlena dengan sapaan dan himbauanmu.

 
Ibu… aku tidak menyalahkan wanita pilihanmu tersebut, karena ia telah menunaikan kewajibannya sebagai istri, terutama perhatiannya dalam berbakti kepadamu, sudah berapa kali ia memintaku untuk menyediakan waktu untuk menziarahimu. Hari yang lalu ia telah buatkan makanan buatmu, akan tetapi aku tidak punya waktu mengantarkannya, hingga makanan itu telah menjadi basi…
Aku berharap pada permasalahan ini engkau tidak membawa-bawa namanya dan mengaitkan kedurhakaanku kepadamu karenanya. Karena selama ini, di mataku dia adalah istri yang baik, istri yang telah berupaya banyak untuk kebahagiaan rumah tangganya.

Ibu…
Ketika seorang laki-laki menikah dengan seorang wanita, maka seolah-olah dia telah mendapatkan permainan baru, seperti anak kecil mendapatkan boneka atau orang-orangan. Sekali lagi maafkan aku! Aku tidaklah membela diriku, karena dari awal dan akhir pembicaraan ini kesalahan ada padaku.. anakmu ini!! Akan tetapi aku ingin menerangkan keadaan yang kualami, perubahan suasana setelah engkau dan aku berpisah dan perubahan jiwa ketika aku tidak hanya mengenal dirimu, tapi kini aku telah mengenal satu wanita lagi.

Ibu… perkawinanku membuatku masuk ke dunia baru, dunia yang selama ini tidak pernah kukenal, dunia yang hanya ada aku, istri dan anakku!! Bagaimana tidak, istri yang baik dan anak-anak yang lucu-lucu!! Maafkan aku Ibu… aku merasa dunia hanya milik kami, aku tidak peduli dengan keadaan orang lain, yang penting bagiku adalah keadaan mereka.

Ibu…
Maafkan aku, anakmu!! Aku telah lalai… aku telah lupa… aku telah menyia-nyiakanmu!! Aku pernah mendengar kajian, bahwa orang tua difitrahkan untuk cinta kepada anaknya, dan anak difitrahkan untuk menyia-nyiakan orang tuanya. Oleh sebab itu dilarang mencintai anak secara berlebihan dan anak dilarang berbuat durhaka kepada orang tuanya.
Itulah yang terjadi pada diriku, wahai Ibu!! Aku seperti orang linglung ketika melihat anakku sakit, aku seperti orang kebingungan ketika melihat anakku diare. Tapi itu sulit, aku rasakan jika hal itu terjadi padamu atau pada ayah!!

Ibu…
Sulit aku merasakan perasaanmu!! Kalaulah bukan karena bimbingan agama yang telah lama engkau talqinkan kepadaku, tentu aku telah seperti kebanyakan anak-anak yang durhaka kepada orang tuanya!! Kalaulah bukan karena baktimu pula kepada orang tuamu dan orang tua ayah, niscaya aku tidak akan pernah mengenal arti bakti kepada orang tua.

Setelah suratmu datang, baru aku mengerti!! Karena selama ini hal itu tidak pernah engkau ungkapkan, semuanya engkau simpan dalam-dalam seperti semua permasalahan berat yang engkau hadapi selama ini.
Sekarang baru aku mengerti, bahwa hari yang sulit bagi seorang ibu, adalah hari di mana anaknya telah menikah dengan seorang wanita. Di matanya wanita yang telah mendampingi putranya itu adalah manusia yang paling beruntung.
Bagaimana tidak!! Dia dapatkan seorang laki-laki yang telah matang pribadi dan matang ekonomi dari seorang ibu yang telah letih membesarkannya. Dengan detak jantungnya ia peroleh kematangan jiwa dan dari uang ibu itu pula ia dapatkan kematangan ekonomi. Sekarang dengan ikhlas dia berikan kepada seorang wanita yang tidak ada hubungannya, kecuali hubungan dua wanita yang saling berebut perhatian seorang laik-laki. Laki-laki sebagai anak dari ibunya dan ia sebagai suami dari istrinya.
Ibuku sayang…

Maafkan aku Ibu!! Ampunkan diriku. Satu tetesan air matamu adalah lautan api bagiku. Janganlah engkau menangis lagi, jangan engkau berduka lagi!! Karena duka dan tangismu menambah dalam jatuhku ke dalam api neraka!! Aku takut Ibu… aku cemas dengan banyaknya dosaku kepada Allah sekarang bertambah pula dengan dosaku terhadapmu. Dengan apa aku ridho Allah, sekiranya engkau tidak meridhoiku. Apa gunanya semua kebaikan sekiranya di matamu aku tidak punya kebaikan!! Bukankah ridho Allah tergantung dengan ridhomu dan sebaliknya bukankah kemurkaan Allah tergantung dengan kemurkaanmu!! Tahukah engkau Ibu, seburuk-buruknya diriku, aku masih merasakan takut kepada murka Allah!! Apalah jadinya hidup jika hidup penuh dengan murka dan laknat serta jauh dari berkah dan nikmat.

Kalau akan murka itu pula yang aku peroleh, izinkan aku membuang semua kebahagiaanku selama ini, demi hanya untuk dapat menyeka air matamu! Kalau akan engkau pula murka kepadaku, izinkan aku datang kepadamu membawa segala yang aku miliki lalu menyerahkannya kepadamu, lalu terserah engkau, mau engkau perbuat apa?!

Sungguh aku tidak mau masuk neraka! Seakalipun -wahai Bunda- aku memiliki kekuasaan seluas kekuasaan Firaun, mempunyai kekayaan sebanyak kekayaan Qarun dan mempunyai keahlian setinggi ilmu Haman. Pastikan wahai Bunda tidak akan aku tukar dengan kesengsaraan di akherat sekalipun sesaat. Siapa pula yang tahan dengan azab neraka, wahai Bunda!!

Ibu maafkan anakmu!! Adapun sebutanmu tentang keluhan dan pengaduan kepada Allah ta’ala, bahwa engkau belum mau mengangkatnya ke langit!! Maka, ampun, wahai Ibu!! Aku angkat seluruh jemariku dan sebelas dengan kepala untuk mohon maaf kepadamu!! Kalaulah itu yang terjadi, do’a itu tersampaikan! Salah ucap pula lisanmu!! Apalah jadinya nanti diriku!! Tentu kebinasaan yang telak. Tentu diriku akan menjadi tunggul yang tumbang disambar petir, apalah gunanya kemegahan sekiranya engkau do’akan atasku kebinasaan, tentu aku akan menjadi pohon yang tidak berakar ke bumi dan dahannya tidak bisa sampai ke langit, di tengahnya dimakan kumbang pula!!

Kalaulah do’amu terucap atasku, wahai Ibu!! maka, tidak ada lagi gunanya hidup, tidak ada lagi gunanya kekayaan, tidak ada lagi gunanya banyak pergaulan.
Ibu dalam sejarah anak manusia yang kubaca, tidak ada yang bahagia setelah kena kutuk orang tuanya. Itu di dunia, maka aku tidak dapat bayangkan bagaimana nasib bagi yang terkena kutuk di akherat, tentu lebih sengsara.

Ibu… setelah membaca suratmu, baru aku menyadari kekhilafan, kealfaan dan kelalaianku. Suratmu akan kujadikan “jimat” dalam hidupku, setiap kali aku lalai dalam berkhidmat kepadamu akan aku baca ulang kembali, tiap kali aku lengah darimu akan kutalqin diriku dengannya. Akan kusimpan dalam lubuk hatiku sebelum aku menyimpannya dalam kotak wasiatku. Akan aku sampaikan kepada anak keturunanku bahwa ayah mereka dahulu pernah lalai dalam berbakti, lalu sadar dan kembali kepada kebenaran, ayah mereka pernah berbuat salah, sehingga ia telah menyakiti hati orang yang seharusnya ia cintai, lalu ia kembali kepada petunjuk.

Tua… siapa yang tidak mengalami ketuaan, wahai Bunda!! Badanku yang saat ini tegap, rambutku hitam, kulitku kencang, akan datang suatu masa badan yang tegap itu akan ringkih dimakan usia, rambut yang hitam akan dipenuhi uban ditelan oleh masa dan kulit yang kencang itu akan menjadi keriput ditelan oleh zaman.
Burung elang yang terbang di angkasa, tidak pernah bermain kecuali di tempat yang tinggi, suatu saat nanti dia akan jatuh jua, dikejar dan diperebutkan oleh burung kecil lainnya. Singa si raja hutan yang selalu memangsa, jika telah tiba tuanya, dia akan dikejar-kejar oleh anjing kecil tanpa ada perlawanan. Tidak ada kekuasaan yang kekal, tidak ada kekayaan yang abadi, yang tersisa hanya amal baik atau amal buruk yang akan dipertanggungjawabkan.

Ibu, do’akan anakmu ini agar menjadi anak yang berbakti kepadamu di masa banyak anak yang durhaka kepada orang tuanya. Angkatlah ke langit munajatmu untukku agar aku akan memperoleh kebahagiaan abadi di dunia dan di akherat.

Ibu… sesampainya suratku ini, insya Allah, tidak akan ada lagi air mata yang jatuh karena ulah anakmu, setelah ini tidak ada lagi kejauhan antaraku denganmu, bahagiamu adalah bahagiaku, kesedihanmu adalah kesedihanku, tawamu adalah tawaku dan tangismu adalah tangisku. Aku berjanji untuk selalu berbakti kepadamu buat selamanya dan aku berharap aku dapat membahagiakanmu selama mataku masih berkedip.
Bahagiakanlah dirimu… buanglah segala kesedihan, cobalah tersenyum!! Ini kami, aku, istri, dan anak-anak sedang bersiap-siap untuk bersimpuh di hadapanmu, mencium tanganmu.
Salam hangat dari anakmu.

Sumber: Diketik ulang dari buku ‘Kutitip Surat Ini Untukmu’ karya Ustadz Armen Halim Naro, Lc rahimahullah , artikel ini terkait dengan kisah sebelumnya "Surat dari Ibumu, yang sedang terkoyak hatinya".