“Saya dengar bahwa Abu Yazid Thaifur bin Isa al-Busthami radhiyallahu ‘anhu ketika menghafal ayat berikut:
“Wahai orang yang berselimut (Muhammad)! Bangunlah (untuk shalat) pada malam hari, kecuali sebagian kecil.” (QS. Al-Muzzammil: 1-2) Dia berkata kepada ayahnya, ‘Wahai Ayahku! Siapakah orang yang dimaksud Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat ini?’ Ayahnya menjawab, ‘Wahai anakku! Yang dimaksud ialah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Dia bertanya lagi, ‘Wahai Ayahku! Mengapa engkau tidak melakukan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Ayahnya menjawab, ‘Wahai anakku! Sesungguhnya qiyamul lail terkhusus bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan diwajibkan baginya tidak bagi umatnya.’ Lalu dia tidak berkomentar.”
“Ketika dia telah menghafal ayat berikut:
‘Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri
(sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau
sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang
bersama kamu.’ (QS. Al-Muzzammil: 20)
Lalu dia bertanya, ‘Wahai Ayahku! Saya mendengar bahwa segolongan
orang melakukan qiyamul lain, siapakah golongan ini?’ Ayahnya menjawab,
‘Wahai anakku! Mereka adalah para sahabat –semoga ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala
selalu terlimpa kepada mereka semua.’ Dia bertanya lagi, ‘Wahai ayahku!
Apa sisi baiknya meninggalkan sesuatu yang dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para sahabatnya?’ Ayahnya menjawab, ‘Kamu benar anakku.’ Maka,
setelah itu ayahnya melakukan qiyamul lail dan melakukan shalat.”
“Pada suatu malam Abu Yazid bangun, ternyata ayahnya sedang
melaksanakan shalat, lalu dia berkata, ‘Wahai ayahku! Ajarilah aku
bagaimana cara saya bersuci dan shalat bersamamu?’ Lantas ayahnya
berkata, ‘Wahai anakku! Tidurlah, karena kamu masih kecil.’ Dia berkata,
‘Wahai Ayahku! Pada hari manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan
berkelompok-kelompok untuk diperlihatkan kepada mereka (balasan) semua
perbuatannya, saya akan berkata kepada Rabbku, ‘Sungguh, saya telah
bertanya kepada ayahku tentang bagaimana cara bersuci dan shalat, tetapi
ayah menolak menjelaskannya. Dia justru berkata, ‘Tidurlah! Kamu masih
kecil’ Apakah ayah senang jika saya berkata demikian?’.” Ayahnya
menjawab, ‘Tidak. Wahai anakku! Demi Allah, saya tidak suka demikian.’
Lalu ayahnya mengajarinya sehingga dia melakukan shalat bersama
ayahnya.”
Sumber: Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah, Pustaka Arafah Cetakan 1
Memang hidayah itu istimewa. Ia mahal dan berharga. Kedudukan dan
status sosial bukanlah ukuran mendapatkannya. Gelimang harta bukanlah
sarana bisa mendapatkannya. Terkadang, ia pun datang di saat yang tak
disangka. Ia datang di saat yang menyerunya mungkin sudah putus asa. Ia
datang, kadang di saat musibah. Dan ia datang ketika permusuhan sudah
mencapai puncaknya.
Seperti kisah George Todzira. Hidayah datang padanya justru saat ia tengah siap berperang.
George bin Todzira adalah panglima pasukan Bizantium. Di Perang
Yarmuk, ia memimpin pasukan Roma, berperang menghadapi umat Islam yang
dipimpin oleh Khalid bin al-Walid radhiallahu ‘anhu. Sebelum
pecah pertempuran, terjadi kejadian yang menarik. George berdialog
dengan Khalid hingga ia memeluk Islam dan berpindah posisi menjadi
pasukan kaum muslimin.
Dalam kondisi demikian, bayangkan apa yang dirasakan pasukan Romawi
Bizantium saat itu? Tentu moral pertempuran mereka kaget dan mengendur.
Dan pastinya, George adalah orang pertama yang hendak mereka bunuh.
Ketika pasukan tengah bertemu, George memanggil Pedang Allah, Khalid
bin al-Walid. Khalid pun keluar dari pasukan, dan Abu Ubaidah
menggantikan posisinya. Di tengah ribuan pasukan, kedua panglima perang
itu berdiri berhadap-hadapan. Hingga leher tunggangan mereka bertautan.
George berkata, “Wahai Khalid, jawablah pertanyaanku dengan jujur.
Jangan berbohong, karena orang yang merdeka tidak pantas berbohong.
Jangan pula kau tipu aku, karena orang yang mulia tidak akan menipu”.
George melanjutkan, “Apakah Allah menurunkan pedang dari langit kepada
Nabi kalian, lalu ia memberikannya kepadamu? Kemudian tidaklah pedang
itu berjumpa dengan suatu kaum, kecuali ia berhasil mengalahkannya?
“Tidak”, jawab Khalid singkat.
“Lalu mengapa engkau disebut dengan saifullah (Pedang Allah)?” Tanya George yang benar-benar menginginkan jawaban.
Khalid menjawab, “Sesungguhnya Allah ﷻ mengutus Nabi-Nya ke
tengah-tengah kami. Ia mendakwahi kami, namun kami semua lari tak
mengacuhkannya. Lalu sebagian kami ada yang membenarkan dakwahnya dan
mengikutinya. Sementara yang lain menjauhi dan mendustakannya. Aku
termasuk orang yang menjauhi, mendustakan, dan memeranginya. Setelah
itu, Allah memberi hidayah kepada kami. Kami pun mengikuti ajarannya. Ia
berkata kepadaku, ‘Engkau adalah pedang di antara pedang-pedang Allah
yang ia hunuskan kepada orang-orang musyrik. Ia mendoakanku dengan
kemenangan. Lalu melaqobiku dengan saifullah. Dari situlah, aku menjadi orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang musyrik”.
“Engkau telah jujur kepadaku”, sambut George menanggapi penjelasan Khalid.
Lalu ia kembali bertanya kepada Khalid, “Wahai Khalid, beri tahu aku, apa engkau serukan padaku?”
“Kepada persaksian bahwasanya tidak ada Tuhan yang berhak disembah
kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Dan meyakini
bahwa apa yang ada padanya (wahyu) adalah dari sisi Allah” Khalid
menerangkan risalah Islam kepada George.
“Kalau orang tidak menerima seruan kalian itu?” tanya George.
“Jizyah menjamin mereka”, jawab Khliad.
“Bagaimana kalau mereka tidak mau menyerahkannya (jizyah)? tanya George.
“Kami perangi mereka”, jawab Khalid
“Bagaimana kedudukan orang-orang yang menerima seruan kalian?” tanya George.
“Kedudukan kami sama (setara) dalam kewajiban-kewajiban yang Allah
perintahkan kepada kami. Baik orang yang mulia atau orang biasa. Baik
yang awal (memeluk Islam) dan yang terakhir”, jawab Khalid.
George kembali mengajukan pertanyaan, “Apakah orang yang hari ini memeluk Islam –wahai Khalid- sama pahala dan ganjarannya?”
“Iya, bahkan bisa jadi lebih utama”, jawab Khalid.
Dengan nada heran, George kembali bertanya, “Bagaimana bisa ia sama dengan kalian, padahal kalian lebih dulu memeluk Islam?”
“Kami memeluk Islam dan berbaiat kepada nabi kami, di saat kami
menjumpainya. Datang padanya kabar-kabar tentang kitab-kitab, lalu ia
memperlihatkan tanda-tanda (kebesaran Allah) pada kami. Orang yang
melihat apa yang kami lihat dan mendengar apa yang kami dengar
membenarkannya, berislam, dan membaiatnya. Adapun kalian, kalian belum
pernah menjumpai apa yang kami jumpai. Belum pernah mendengar apa telah
kami dengar berupa mukjizat dan hujjah. Kalau kalian memeluk Islam
dengan tulus dan sebenar-benarnya. Tentu lebih baik dari kami.” Jawab
Khalid berusaha mengurai kebingungan George.
“Demi Allah, engkau berkata jujur, tidak menipuku, dan tidak
berpura-pura padaku kan?” tanya George berusaha mendapatkan jawaban yang
pasti.
Khalid menjwab, “Demi Allah, aku telah berucap jujur padamu. Aku
tidak berkepentingan apapun padamu atau salah seorang dari kalian.
Sesungguhnya Allah menjadi saksi atas apa yang engkau tanyakan padaku.”
George berkata, “Engkau telah jujur padaku.” Saat itu, George yang
masih dalam persiapan berperang mulai luluh hatinya tatkala mendengar
penjelasan dan seruan Khalid bin al-Walid radhiallahu ‘anhu.
Hatinya bergetar dan cenderung kepada Khalid. Kemudian, di tengah medan
perang dan posisi siap berperang, George mengucapkan perkataan yang
mengejutkan, “Ajarkanlah aku tentang Islam”, pintanya.
Lalu Khalid mengajaknya ke tendanya. Menyediakan air untuknya
bersuci. Kemudian George menunaikan shalat dua rakaat. George telah
memeluk Islam. Khalid bin al-Walid dan para sahabat Nabi memberikan
teladan bahwa berangkat ke medan perang bukanlah semata-mata untuk
membunuh orang. Tapi tujuan utamanya adalah memberikan hidayah. Inilah
bedanya jalan para sahabat dengan orang-orang yang terlibat aksi
terorisme. Tujuan mereka membunuh, bukan memberi hidayah.
Keluar dari Bizantium dengan permusuhan yang memuncak dan memimpin
pasukan untuk memerangi Islam dan kaum muslimin, ternyata saat itulah
hidayah datang kepadanya. Oleh karena itu, janganlah kita berputus asa.
Sebagaimana Khalid masih mengharapkan hidayah kepala pasukan yang hendak
membunuh dan memeranginya.
George berbalik posisi. Ia berdiri di sebelah Khalid untuk memerangi
pasukan Bizantium. Dalam perang itu ia menderita luka parah dan menemui
syahidnya di medan Yarmuk. Setelah berislam, ia hanya satu kali
melakukan shalat, dan sujud dalam dua rakaat. Kemudian ia gugur di medan
jihad.
Benarlah apa yang Khalid ucapkan, bisa jadi orang yang baru memeluk
Islam dan sedikit amalnya lebih unggul dibanding orang yang terlahir
sebagai seorang muslim. George hanya menunaikan satu kali shalat dalam
hidupnya, namun ia mendapatkan kemuliaan jihad di jalan Allah. Menjemput
kematian sebagai seorang syuhada, insya Allah.
Sumber:
– Tarikh al-Umam wa –ar-Rusul wa al-Muluk oleh Ibnu Jarir ath-Thabari, jilid 3, halaman 398-400.
Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)
Artikel www.KisahMuslim.com
“Aku menginginkan istri yang sholihah yang bisa menggandeng
tanganku ke surga dan melahirkan anak yang dia tarbiyahkan dengan baik
hingga jadi pemuda ksatria serta mampu mengembalikan Baitul Maqdis ke
tangan kaum muslimin”.
Begitulah impian luar biasanya Najmudin Ayyub (Ayah Shalahuddin Al-Ayyubi), seorang penguasa
Tikrit di Iraq. Sekian lama lelaki ini membujang demi sebuah harapan,
dia hanya mau menikah dengan sosok wanita istimewa. Berbagai tawaran
ditolaknya, bahkan ketika saudaranya memilihkan putri Malik Syah anak
Sultan Muhammad bin Malik Syah Raja dari Bani Saljuk, atau putri
Nidzamul Malik, mantan menteri agung zaman Abbasiyah.
Suatu hari ketika ia duduk – duduk bersama seorang syaikh, datanglahseorang wanita yang mengadukan masalahnya, gadis itu telah menolak
pinangan seorang pemuda.
Di saat syaikh itu menanyakan kenapa dia
menolaknya. Wanita itu (juga) mengatakan: “Aku ingin seorang pemuda yang menggandeng tanganku ke surga dan
melahirkan darinya anak yang menjadi ksatria yang akan mengembalikan
Baitul Maqdis kepada kaum muslimin”.
MaasyaAllaah ! Kata – kata yang sama pernah diucapkan
Najmuddin kepada saudaranya. Di dunia ini tak ada yang kebetulan semua
telah ditaqdirkan-Nya. Barang siapa ikhlas niat karena Allah Azzawa Jalla semata maka Allah akan menolong dan memudahkan semua urusan hamba-Nya.
Keduanya akhirnya menikah, bukan karena kecantikan, ketampanan atau
kedudukan, tetapi demi sebuah obsesi besar yang mempertemukan mereka.
Bara kerinduan membuncah akan lahirnya insan pilihan yang mampu
meninggikan panji – panji Islam.
Kala itu negeri kaum muslimin tengah dilanda kehinaan dengan bercokolnya kaum salibis di berbagai belahan dunia. Allahu Akbar…. Azam
begitu membaja, do’a serta keshalihan mereka berdua akhirnya berbuah
manis. Maka dari dua sosok spektakuler inilah lahirlah Sholahuddin Al
Ayyubi, sang penakluk Baitul Maqdis.
Selamat wahai Najmuddin, sungguh labuhan cintamu membawa keberkahan
bagi kejayaan Islam. Siapa yang tak kenal dia ? seorang pemberani yang
rendah hati, dialah buah cinta yang tersemai dalam harumnya cinta
sejati. Hingga detik ini kisahnya telah menginspirasi kaum muslimin
untuk selalu berjuang meninggikan kalimat Tauhid Laailaahaillallah.
Ada banyak hikmah dari perjalanan cinta Najmuddin. Diantaranya adalah
suami istri haruslah memilki visi, misi dan orientasi yang sama dalam
pernikahannya. Tanpa tujuan yang jelas mustahil gambaran rumah tangga
Islami yang penuh dengan mawaddah serta rahmat-Nya hanyalah
mimpi dan sulit diwujudkan. Satu hal lagi betapapun hebat dan terlihat
menakjubkan target – target yang di cita – citakan pasutri namun tanpa
ilmu, semangat, dan komitmen kuat untuk mewujudkan obsesi – obsesinya
semua itu tak ada manfaatnya.
Di sinilah pasutri perlu bersinergi dan selalu berkolaborasi agar
pernikahannya selalu sukses lahir batin, dunia maupun akhirat. Termasuk
para calon pasutri, tak ada salahnya anda memupuk asa sebagaimana cerita
Najmuddin. Bersemangatlah jangan engkau pesimis dan ragu. Bercita –
citalah melahirkan generasi pembuka Roma.
Point penting kedua yang dapat diteladani dari pernikahan istimewa
diatas bahwa faktor kesholihan kedua orang tua memilki kontribusi besar
dalam mencetak generasi Rabbani. Sebagaimana pepatah yang cukup
populer,dengan dasar agama Islam yang baik dan benar tentunya mereka
akan berjuang keras agar keturunannya mempunyai kualitas serta kuantitas
agama yang bagus bahkan mungkin melebihi keshalihan keduanya.
Bukankah mendidik anak dan
membimbing anak lebih sulit dibandingkan dengan melahirkannya?.
Mentarbiyahnya butuh ilmu, semangat kesabaran dan do’a yang tak kenal
henti.(1)
Jika memang benar cintamu karena Allah
Yakinlah, orang yang shalih pasti bertemu dengan yang shalihah
Yang hijabnya syar'i akan bertemu dengan ikhwan yang tidak isbal
Seorang Ikhwan yang rajin jama'ah di Masjid
Akan berjodoh pula dengan yang senantiasa menjaga auratnya dirumah
Seorang yang bercita-cita mulia dijalan Allah semata
Maka Allah akan mempertemukannya kepada siapa saja yang pantas menurut Allah.(2)
Akan tetapi jangan lupa, CINTAMU HARUS Benar-benar jujur, cinta pacaran ataupun cinta monyet saja tidak akan pernah cukup,,
Salah satu Imam Mazhab, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I rahimahullah pernah menuturkan,
لو كان حبك صادقا لأطعته … إن المحب لمن يحب مطيع
Jika Cintamu Jujur….
Niscaya ‘kau ‘kan taati dirinya…
Karna sesungguhnya orang yang mencintai itu…
Akan sangat taat kepada kekasih yang dicintainya..(3)
———————————————————————–
1). Penulis: Ummu Nashifah Isruwanti
Murojaah: Ustadz Ammi Nur Baits
Artikel www.muslimah.or.id
Dengan sedikit pengurangan penambahan (Yusuuf Arifin).
Judul Asli : PENGANTIN BAITUL MAQDIS, https://muslimah.or.id/8478-pengantin-baitul-maqdis.html
2). Kreatif bikin sendiri , hh...
3). Syair ini dikutip dari Imam Asy-Syafi’i oleh
(a) محمد بن أبي بكر أيوب الزرعي أبو عبد الله (masyhur dengan nama
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah) dalam kitab روضة المحبين ونزهة المشتاقين , cet.
دار الكتب العلمية – بيروت ، 1412 – 1992, hal. 266
(b) : محمد بن أبي بكر أيوب الزرعي أبو عبد الله. Dalam kitab طريق
الهجرتين وباب السعادتين, cet III (1414 – 1994) : دار ابن القيم –
الدمام , hal. 444.
(c) anonim, dalam kitab مجمع الحكم و الأمثال, tidak tertulis halamannya. diambil dari link ini
Kali ini kita akan bercerita tentang seorang laki-laki mulia dan
memiliki peranan yang besar dalam sejarah Islam, seorang panglima Islam,
serta kebanggaan suku Kurdi, ia adalah Shalahuddin Yusuf bin Najmuddin
Ayyub bin Syadi atau yang lebih dikenal dengan Shalahuddin al-Ayyubi
atau juga Saladin. Ia adalah seorang laki-laki yang mungkin sebanding
dengan seribu laki-laki lainnya.
Asal dan Masa Pertumbuhannya Shalahuddin al-Ayyubi adalah laki-laki dari kalangan ‘ajam
(non-Arab), tidak seperti yang disangkakan oleh sebagian orang bahwa
Shalahuddin adalah orang Arab, ia berasal dari suku Kurdi. Ia lahir pada
tahun 1138 M di Kota Tikrit, Irak, kota yang terletak antara Baghdad
dan Mosul. Ia melengkapi orang-orang besar dalam sejarah Islam yang
bukan berasal dari bangsa Arab, seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam
Tirmidzi, dan lain-lain.
Karena suatu alasan, kelahiran Shalahuddin memaksa ayahnya untuk
meninggalkan Tikrit sehingga sang ayah merasa kelahiran anaknya ini
menyusahkan dan merugikannya. Namun kala itu ada orang yang
menasihatinya, “Engkau tidak pernah tahu, bisa jadi anakmu ini akan
menjadi seorang raja yang reputasinya sangat cemerlang.”
Dari Tikrit, keluarga Kurdi ini berpindah menuju Mosul. Sang ayah,
Najmuddin Ayyub tinggal bersama seorang pemimpin besar lainnya yakni
Imaduddin az-Zanki. Imaduddin az-Zanki memuliakan keluarga ini, dan
Shalahuddin pun tumbuh di lingkungan yang penuh keberkahan dan kerabat
yang terhormat. Di lingkungan barunya dia belajar menunggang kuda,
menggunakan senjata, dan tumbuh dalam lingkungan yang sangat mencintai
jihad. Di tempat ini juga Shalahuddin kecil mulai mempelajari Alquran,
menghafal hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mempelajari bahasa dan sastra Arab, dan ilmu-ilmu lainnya. Diangkat Menjadi Mentri di Mesir
Sebelum kedatangan Shalahuddin al-Ayyubi, Mesir merupakan wilayah
kekuasaan kerajaan Syiah, Daulah Fathimiyah. Kemudian pada masa
berikutnya Dinasti Fathimiyah yang berjalan stabil mulai digoncang
pergolakan di dalam negerinya. Orang-orang Turki, Sudan, dan Maroko
menginginkan adanya revolusi. Saat itu Nuruddin Mahmud, paman
Shalahuddin, melihat sebuah peluang untuk menaklukkan kerajaan Syiah
ini, ia berpandangan penaklukkan Daulah Fathimiyyah adalah jalan lapang
untuk membebaskan Jerusalem dari kekuasaan Pasukan Salib.
Nuruddin benar-benar merealisasikan cita-citanya, ia mengirim pasukan
dari Damaskus yang dipimpin oleh Asaduddin Syirkuh untuk membantu
keponakannya, Shalahuddin al-Ayyubi, di Mesir. Mengetahui kedatangan
pasukan besar ini, sebagian Pasukan Salib yang berada di Mesir pun lari
kocar-kacir sehingga yang dihadapi oleh Asaduddin dan Shalahuddin
hanyalah orang-orang Fathimyah saja. Daulah Fathimiyah berhasil
dihancurkan dan Shalahuddin diangkat menjadi mentri di wilayah Mesir.
Namun tidak lama menjabat sebagai menteri di Mesir, dua bulan kemudian
Shalahuddin diangkat sebagai wakil dari Khalifah Dinasti Ayyubiyah.
Selama dua bulan memerintah Mesir, Shalahuddin membuat
kebijakan-kebijakan progresif yang visioner. Ia membangun dua sekolah
besar berdasarkan madzhab Ahlussunnah wal Jamaah. Hal ini ia tujukan
untuk memberantas pemikiran Syiah yang bercokol sekian lama di tanah
Mesir. Hasilnya bisa kita rasakan hingga saat ini, Mesir menjadi salah
satu negeri pilar dakwah Ahlussunnah wal Jamaah atau Sunni. Kebijakan
lainnya yang ia lakukan adalah mengganti penyebutan nama-nama khalifah
Fathimiyah dengan nama-nama khalifah Abbasiyah dalam khutbah Jumat. Menaklukkan Jerusalem
Persiapan Shalahuddin untuk menggempur Pasukan Salib di Jerusalem
benar-benar matang. Ia menggabungkan persiapan keimanan (non-materi) dan
persiapan materi yang luar biasa. Persiapan keimanan ia bangun dengan
membersihkan akidah Syiah bathiniyah dari dada-dada kaum muslimin dengan
membangun madrasah dan menyemarakkakn dakwah, persatuan dan kesatuan
umat ditanamkan dan dibangkitkan kesadaran mereka menghadapi Pasukan
Salib. Dengan kampanyenya ini ia berhasil menyatukan penduduk Syam,
Irak, Yaman, Hijaz, dan Maroko di bawah satu komando. Dari persiapan
non-materi ini terbentuklah sebuah pasukan dengan cita-cita yang sama
dan memiliki landasan keimanan yang kokoh.
Dari
segi fisik Shalahuddin mengadakan pembangunan makas militer,
benteng-benteng perbatasan, menambah jumlah pasukan, memperbaiki
kapal-kapal perang, membangun rumah sakit, dll.
Pada tahun 580 H, Shalahuddin menderita penyakit yang cukup berat,
namun dari situ tekadnya untuk membebaskan Jerusalem semakin membara. Ia
bertekad apabila sembuh dari sakitnya, ia akan menaklukkan Pasukan
Salib di Jerusalem, membersihkan tanah para nabi tersebut dari
kesyirikan trinitas.
Dengan karunia Allah, Shalahuddin pun sembuh dari sakitnya. Ia mulai
mewujudkan janjinya untuk membebaskan Jerusalem. Pembebasan Jerusalem
bukanlah hal yang mudah, Shalahuddin dan pasukannya harus menghadapi
Pasukan Salib di Hathin terlebih dahulu, perang ini dinamakan Perang
Hathin, perang besar sebagai pembuka untuk menaklukkan Jerusalem. Dalam
perang tersebut kaum muslimin berkekuatan 63.000 pasukan yang terdiri
dari para ulama dan orang-orang shaleh, mereka berhasil membunuh 30000
Pasukan Salib dan menawan 30000 lainnya.
Setelah menguras energy di Hathin, akhirnya kaum muslimin tiba di
al-Quds, Jerusalem, dengan jumlah pasukan yang besar tentara-tentara
Allah ini mengepung kota suci itu. Perang pun berkecamuk, Pasukan Salib
sekuat tenaga mempertahankan diri, beberapa pemimpin muslim pun menemui
syahid mereka –insya Allah- dalam peperangan ini. Melihat keadaan ini,
kaum muslimin semakin bertambah semangat untuk segera menaklukkan
Pasukan Salib.
Untuk memancing emosi kaum muslimin, Pasukan Salib memancangkan salib
besar di atas Kubatu Shakhrakh. Shalahuddin dan beberapa pasukannya
segera bergerak cepat ke sisi terdekat dengan Kubbatu Shakhrakh untuk
menghentikan kelancangan Pasukan Salib. Kemudian kaum muslimin berhasil
menjatuhkan dan membakar salib tersebut. Setelah itu, jundullah menghancurkan menara-menara dan benteng-benteng al-Quds.
Pasukan Salib mulai terpojok, merek tercerai-berai, dan mengajak
berunding untuk menyerah. Namun Shalahuddin menjawab, “Aku tidak akan
menyisakan seorang pun dari kaum Nasrani, sebagaimana mereka dahulu
tidak menyisakan seorang pun dari umat Islam (ketika menaklukkan
Jerusalem)”. Namun pimpinan Pasukan Salib, Balian bin Bazran, mengancam
“Jika kaum muslimin tidak mau menjamin keamanan kami, maka kami akan
bunuh semua tahanan dari kalangan umat Islam yang jumlahnya hampir
mencapai 4000 orang, kami juga akan membunuh anak-anak dan istri-istri
kami, menghancurkan bangunan-bangunan, membakar harta benda,
menghancurkan Kubatu Shakhrakh, membakar apapun yang bisa kami bakar,
dan setelah itu kami akan hadapi kalian sampai darah penghabisan! Satu
orang dari kami akan membunuh satu orang dari kalian! Kebaikan apalagi
yang bisa engkau harapkan!” Inilah ancaman yang diberikan Pasukan Salib
kepada Shalahuddin dan pasukannya.
Shalahuddin pun mendengarkan dan menuruti kehendak Pasukan Salib
dengan syarat setiap laki-laki dari mereka membayar 10 dinar, untuk
perempuan 5 dinar, dan anak-anak 2 dinar. Pasukan Salib pergi
meninggalkan Jerusalem dengan tertunduk dan hina. Kaum muslimin berhasil
membebaskan kota suci ini untuk kedua kalinya.
Shalahuddin memasuki Jerusalem pada hari Jumat 27 Rajab 583 H / 2
Oktober 1187, kota tersebut kembali ke pangkuan umat Islam setelah
selama 88 tahun dikuasai oleh orang-orang Nasrani. Kemudian ia
mengeluarkan salib-salib yang terdapat di Masjid al-Aqsha,
membersihkannya dari segala najis dan kotoran, dan mengembalikan
kehormatan masjid tersebut.
Wafatnya Sang Pahlawan
Sebagaimana manusia sebelumnya, baik dari kalangan nabi, rasul,
ulama, panglima perang dan yang lainnya, Shalahuddin pun wafat
meninggalkan dunia yang fana ini. Ia wafat pada usia 55 tahun, pada 16
Shafar 589 H bertepatan dengan 21 Febuari 1193 di Kota Damaskus. Ia
meninggal karena mengalami sakit demam selama 12 hari. Orang-orang ramai
menyalati jenazahnya, anak-anaknya Ali, Utsman, dan Ghazi turut hadir
menghantarkan sang ayah ke peristirahatannya. Semoga Allah meridhai,
merahmati, dan membalas jasa-jasa engkau wahai pahlawan Islam, sang
pembebas Jerusalem. Sumber:
Shalahuddin al-Ayyubi Bathalu al-Hathin oleh Abdullah Nashir Unwan
Shalahuddin al-Ayyubi oleh Basim al-Usaili
Shalahuddin al-Ayyubi oleh Abu al-Hasan an-Nadawi
Islamstroy.com Ditulis oleh Nurfitri Hadi
Artikel www.KisahMuslim.com https://kisahmuslim.com/3915-shalahuddin-al-ayyubi.html Untuk mendengarkan kisahnya versi suara / mp3 khalifah trans7, bisa di download disini : http://www.4shared.com/mp3/7Xe8MYdlce/Khalifah_-_Shalahuddin_Al_Ayyu.html