Rabu, 27 April 2016

Kisah Anak yang Melakukan Qiyamul lail

 Syekh Ibnu Zhafar al-Makki mengatakan, 

“Saya dengar bahwa Abu Yazid Thaifur bin Isa al-Busthami radhiyallahu ‘anhu ketika menghafal ayat berikut:
Wahai orang yang berselimut (Muhammad)! Bangunlah (untuk shalat) pada malam hari, kecuali sebagian kecil.” (QS. Al-Muzzammil: 1-2)
Dia berkata kepada ayahnya, ‘Wahai Ayahku! Siapakah orang yang dimaksud Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat ini?’ Ayahnya menjawab, ‘Wahai anakku! Yang dimaksud ialah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Dia bertanya lagi, ‘Wahai Ayahku! Mengapa engkau tidak melakukan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Ayahnya menjawab, ‘Wahai anakku! Sesungguhnya qiyamul lail terkhusus bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan diwajibkan baginya tidak bagi umatnya.’ Lalu dia tidak berkomentar.”
“Ketika dia telah menghafal ayat berikut:
Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu.’ (QS. Al-Muzzammil: 20)
Lalu dia bertanya, ‘Wahai Ayahku! Saya mendengar bahwa segolongan orang melakukan qiyamul lain, siapakah golongan ini?’ Ayahnya menjawab, ‘Wahai anakku! Mereka adalah para sahabat –semoga ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu terlimpa kepada mereka semua.’ Dia bertanya lagi, ‘Wahai ayahku! Apa sisi baiknya meninggalkan sesuatu yang dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya?’ Ayahnya menjawab, ‘Kamu benar anakku.’ Maka, setelah itu ayahnya melakukan qiyamul lail dan melakukan shalat.”
“Pada suatu malam Abu Yazid bangun, ternyata ayahnya sedang melaksanakan shalat, lalu dia berkata, ‘Wahai ayahku! Ajarilah aku bagaimana cara saya bersuci dan shalat bersamamu?’ Lantas ayahnya berkata, ‘Wahai anakku! Tidurlah, karena kamu masih kecil.’ Dia berkata, ‘Wahai Ayahku! Pada hari manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan berkelompok-kelompok untuk diperlihatkan kepada mereka (balasan) semua perbuatannya, saya akan berkata kepada Rabbku, ‘Sungguh, saya telah bertanya kepada ayahku tentang bagaimana cara bersuci dan shalat, tetapi ayah menolak menjelaskannya. Dia justru berkata, ‘Tidurlah! Kamu masih kecil’ Apakah ayah senang jika saya berkata demikian?’.” Ayahnya menjawab, ‘Tidak. Wahai anakku! Demi Allah, saya tidak suka demikian.’ Lalu ayahnya mengajarinya sehingga dia melakukan shalat bersama ayahnya.”
Sumber: Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah, Pustaka Arafah Cetakan 1

Artikel www.KisahMuslim.com 
            / Sumber Link Utama

George bin Todzira

    Hidayah itu Datang Saat di Medan Perang

Memang hidayah itu istimewa. Ia mahal dan berharga. Kedudukan dan status sosial bukanlah ukuran mendapatkannya. Gelimang harta bukanlah sarana bisa mendapatkannya. Terkadang, ia pun datang di saat yang tak disangka. Ia datang di saat yang menyerunya mungkin sudah putus asa. Ia datang, kadang di saat musibah. Dan ia datang ketika permusuhan sudah mencapai puncaknya.
Seperti kisah George Todzira. Hidayah datang padanya justru saat ia tengah siap berperang.
George bin Todzira adalah panglima pasukan Bizantium. Di Perang Yarmuk, ia memimpin pasukan Roma, berperang menghadapi umat Islam yang dipimpin oleh Khalid bin al-Walid radhiallahu ‘anhu. Sebelum pecah pertempuran, terjadi kejadian yang menarik. George berdialog dengan Khalid hingga ia memeluk Islam dan berpindah posisi menjadi pasukan kaum muslimin.
Dalam kondisi demikian, bayangkan apa yang dirasakan pasukan Romawi Bizantium saat itu? Tentu moral pertempuran mereka kaget dan mengendur. Dan pastinya, George adalah orang pertama yang hendak mereka bunuh.

Ketika pasukan tengah bertemu, George memanggil Pedang Allah, Khalid bin al-Walid. Khalid pun keluar dari pasukan, dan Abu Ubaidah menggantikan posisinya. Di tengah ribuan pasukan, kedua panglima perang itu berdiri berhadap-hadapan. Hingga leher tunggangan mereka bertautan.
George berkata, “Wahai Khalid, jawablah pertanyaanku dengan jujur. Jangan berbohong, karena orang yang merdeka tidak pantas berbohong. Jangan pula kau tipu aku, karena orang yang mulia tidak akan menipu”. George melanjutkan, “Apakah Allah menurunkan pedang dari langit kepada Nabi kalian, lalu ia memberikannya kepadamu? Kemudian tidaklah pedang itu berjumpa dengan suatu kaum, kecuali ia berhasil mengalahkannya?
“Tidak”, jawab Khalid singkat.
“Lalu mengapa engkau disebut dengan saifullah (Pedang Allah)?” Tanya George yang benar-benar menginginkan jawaban.
Khalid menjawab, “Sesungguhnya Allah ﷻ mengutus Nabi-Nya ke tengah-tengah kami. Ia mendakwahi kami, namun kami semua lari tak mengacuhkannya. Lalu sebagian kami ada yang membenarkan dakwahnya dan mengikutinya. Sementara yang lain menjauhi dan mendustakannya. Aku termasuk orang yang menjauhi, mendustakan, dan memeranginya. Setelah itu, Allah memberi hidayah kepada kami. Kami pun mengikuti ajarannya. Ia berkata kepadaku, ‘Engkau adalah pedang di antara pedang-pedang Allah yang ia hunuskan kepada orang-orang musyrik. Ia mendoakanku dengan kemenangan. Lalu melaqobiku dengan saifullah. Dari situlah, aku menjadi orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang musyrik”.
“Engkau telah jujur kepadaku”, sambut George menanggapi penjelasan Khalid.
Lalu ia kembali bertanya kepada Khalid, “Wahai Khalid, beri tahu aku, apa engkau serukan padaku?”
“Kepada persaksian bahwasanya tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Dan meyakini bahwa apa yang ada padanya (wahyu) adalah dari sisi Allah” Khalid menerangkan risalah Islam kepada George.
“Kalau orang tidak menerima seruan kalian itu?” tanya George.
“Jizyah menjamin mereka”, jawab Khliad.
“Bagaimana kalau mereka tidak mau menyerahkannya (jizyah)? tanya George.
“Kami perangi mereka”, jawab Khalid
“Bagaimana kedudukan orang-orang yang menerima seruan kalian?” tanya George.
“Kedudukan kami sama (setara) dalam kewajiban-kewajiban yang Allah perintahkan kepada kami. Baik orang yang mulia atau orang biasa. Baik yang awal (memeluk Islam) dan yang terakhir”, jawab Khalid.
George kembali mengajukan pertanyaan, “Apakah orang yang hari ini memeluk Islam –wahai Khalid- sama pahala dan ganjarannya?”
“Iya, bahkan bisa jadi lebih utama”, jawab Khalid.
Dengan nada heran, George kembali bertanya, “Bagaimana bisa ia sama dengan kalian, padahal kalian lebih dulu memeluk Islam?”
“Kami memeluk Islam dan berbaiat kepada nabi kami, di saat kami menjumpainya. Datang padanya kabar-kabar tentang kitab-kitab, lalu ia memperlihatkan tanda-tanda (kebesaran Allah) pada kami. Orang yang melihat apa yang kami lihat dan mendengar apa yang kami dengar membenarkannya, berislam, dan membaiatnya. Adapun kalian, kalian belum pernah menjumpai apa yang kami jumpai. Belum pernah mendengar apa telah kami dengar berupa mukjizat dan hujjah. Kalau kalian memeluk Islam dengan tulus dan sebenar-benarnya. Tentu lebih baik dari kami.” Jawab Khalid berusaha mengurai kebingungan George.
“Demi Allah, engkau berkata jujur, tidak menipuku, dan tidak berpura-pura padaku kan?” tanya George berusaha mendapatkan jawaban yang pasti.
Khalid menjwab, “Demi Allah, aku telah berucap jujur padamu. Aku tidak berkepentingan apapun padamu atau salah seorang dari kalian. Sesungguhnya Allah menjadi saksi atas apa yang engkau tanyakan padaku.”
George berkata, “Engkau telah jujur padaku.” Saat itu, George yang masih dalam persiapan berperang mulai luluh hatinya tatkala mendengar penjelasan dan seruan Khalid bin al-Walid radhiallahu ‘anhu. Hatinya bergetar dan cenderung kepada Khalid. Kemudian, di tengah medan perang dan posisi siap berperang, George mengucapkan perkataan yang mengejutkan, “Ajarkanlah aku tentang Islam”, pintanya.
Lalu Khalid mengajaknya ke tendanya. Menyediakan air untuknya bersuci. Kemudian George menunaikan shalat dua rakaat. George telah memeluk Islam. Khalid bin al-Walid dan para sahabat Nabi memberikan teladan bahwa berangkat ke medan perang bukanlah semata-mata untuk membunuh orang. Tapi tujuan utamanya adalah memberikan hidayah. Inilah bedanya jalan para sahabat dengan orang-orang yang terlibat aksi terorisme. Tujuan mereka membunuh, bukan memberi hidayah.
Keluar dari Bizantium dengan permusuhan yang memuncak dan memimpin pasukan untuk memerangi Islam dan kaum muslimin, ternyata saat itulah hidayah datang kepadanya. Oleh karena itu, janganlah kita berputus asa. Sebagaimana Khalid masih mengharapkan hidayah kepala pasukan yang hendak membunuh dan memeranginya.
George berbalik posisi. Ia berdiri di sebelah Khalid untuk memerangi pasukan Bizantium. Dalam perang itu ia menderita luka parah dan menemui syahidnya di medan Yarmuk. Setelah berislam, ia hanya satu kali melakukan shalat, dan sujud dalam dua rakaat. Kemudian ia gugur di medan jihad.
Benarlah apa yang Khalid ucapkan, bisa jadi orang yang baru memeluk Islam dan sedikit amalnya lebih unggul dibanding orang yang terlahir sebagai seorang muslim. George hanya menunaikan satu kali shalat dalam hidupnya, namun ia mendapatkan kemuliaan jihad di jalan Allah. Menjemput kematian sebagai seorang syuhada, insya Allah.

Sumber:
– Tarikh al-Umam wa –ar-Rusul wa al-Muluk oleh Ibnu Jarir ath-Thabari, jilid 3, halaman 398-400.
Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)
Artikel www.KisahMuslim.com

https://kisahmuslim.com/5385-george-bin-todzira-hidayah-datang-saat-di-medan-perang.html

Selasa, 19 April 2016

~Pengantin Baitul Maqdis ~

  “Aku menginginkan istri yang sholihah yang bisa menggandeng tanganku ke surga dan melahirkan anak yang dia tarbiyahkan dengan baik hingga jadi pemuda ksatria serta mampu mengembalikan Baitul Maqdis ke tangan kaum muslimin”.

 
Begitulah impian luar biasanya Najmudin Ayyub (Ayah Shalahuddin Al-Ayyubi), seorang penguasa Tikrit di Iraq. Sekian lama lelaki ini membujang demi sebuah harapan, dia hanya mau menikah dengan sosok wanita istimewa. Berbagai tawaran ditolaknya, bahkan ketika saudaranya memilihkan putri Malik Syah anak Sultan Muhammad bin Malik Syah Raja dari Bani Saljuk, atau putri Nidzamul Malik, mantan menteri agung zaman Abbasiyah.

Suatu hari ketika ia duduk – duduk bersama seorang syaikh, datanglah seorang wanita yang mengadukan masalahnya, gadis itu telah menolak pinangan seorang pemuda.
Di saat syaikh itu menanyakan kenapa dia menolaknya. Wanita itu (juga) mengatakan: 
Aku ingin seorang pemuda yang menggandeng tanganku ke surga dan melahirkan darinya anak yang menjadi ksatria yang akan mengembalikan Baitul Maqdis kepada kaum muslimin”.


MaasyaAllaah  ! Kata – kata yang sama pernah diucapkan Najmuddin kepada saudaranya. Di dunia ini tak ada yang kebetulan semua telah ditaqdirkan-Nya. Barang siapa ikhlas niat karena Allah Azza wa Jalla semata maka Allah akan menolong dan memudahkan semua urusan hamba-Nya.
Keduanya akhirnya menikah, bukan karena kecantikan, ketampanan atau kedudukan, tetapi demi sebuah obsesi besar yang mempertemukan mereka. Bara kerinduan membuncah akan lahirnya insan pilihan yang mampu meninggikan panji – panji Islam.

Kala itu negeri kaum muslimin tengah dilanda kehinaan dengan bercokolnya kaum salibis di berbagai belahan dunia. Allahu Akbar….  Azam begitu membaja, do’a serta keshalihan mereka berdua akhirnya berbuah manis. Maka dari dua sosok spektakuler inilah lahirlah Sholahuddin Al Ayyubi, sang penakluk Baitul Maqdis.
Selamat wahai Najmuddin, sungguh labuhan cintamu membawa keberkahan bagi kejayaan Islam. Siapa yang tak kenal dia ? seorang pemberani yang rendah hati, dialah buah cinta yang tersemai dalam harumnya cinta sejati. Hingga detik ini kisahnya telah menginspirasi kaum muslimin untuk selalu berjuang meninggikan kalimat Tauhid Laailaahaillallah.

Ada banyak hikmah dari perjalanan cinta Najmuddin. Diantaranya adalah suami istri haruslah memilki visi, misi dan orientasi yang sama dalam pernikahannya. Tanpa tujuan yang jelas mustahil gambaran rumah tangga Islami yang penuh dengan mawaddah serta rahmat-Nya hanyalah mimpi dan sulit diwujudkan. Satu hal lagi betapapun hebat dan terlihat menakjubkan target – target yang di cita – citakan pasutri namun tanpa ilmu, semangat, dan komitmen kuat untuk mewujudkan obsesi – obsesinya semua itu tak ada manfaatnya.
Di sinilah pasutri perlu bersinergi dan selalu berkolaborasi agar pernikahannya selalu sukses lahir batin, dunia maupun akhirat. Termasuk para calon pasutri, tak ada salahnya anda memupuk asa sebagaimana cerita Najmuddin. Bersemangatlah jangan engkau pesimis dan ragu. Bercita – citalah melahirkan generasi pembuka Roma.

Point penting kedua yang dapat diteladani dari pernikahan istimewa diatas bahwa faktor kesholihan kedua orang tua memilki kontribusi besar dalam mencetak generasi Rabbani. Sebagaimana pepatah yang cukup populer,dengan  dasar agama Islam yang baik dan benar tentunya mereka akan berjuang keras agar keturunannya mempunyai kualitas serta kuantitas agama yang bagus bahkan mungkin melebihi keshalihan keduanya.

Bukankah mendidik anak dan membimbing anak lebih sulit dibandingkan dengan melahirkannya?. Mentarbiyahnya butuh ilmu, semangat kesabaran dan do’a yang tak kenal henti.(1)

Jika memang benar cintamu karena Allah
Yakinlah, orang yang shalih pasti bertemu dengan yang shalihah 
Yang hijabnya syar'i akan bertemu dengan ikhwan yang tidak isbal
Seorang Ikhwan yang rajin jama'ah di Masjid
Akan berjodoh pula dengan yang senantiasa menjaga auratnya dirumah
Seorang yang bercita-cita mulia dijalan Allah semata
Maka Allah akan mempertemukannya kepada siapa saja yang pantas menurut Allah.(2)

Akan tetapi jangan lupa, CINTAMU HARUS Benar-benar jujur, cinta pacaran ataupun cinta monyet saja tidak akan pernah cukup,,
Salah satu Imam Mazhab, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I rahimahullah pernah menuturkan,

لو كان حبك صادقا لأطعته … إن المحب لمن يحب مطيع

Jika Cintamu Jujur….
Niscaya ‘kau ‘kan taati dirinya…
Karna sesungguhnya orang yang mencintai itu…
Akan sangat taat kepada kekasih yang dicintainya..(3)



———————————————————————–
1). Penulis: Ummu Nashifah Isruwanti
     Murojaah: Ustadz Ammi Nur Baits
     Artikel www.muslimah.or.id
    Dengan sedikit pengurangan penambahan (Yusuuf Arifin).
    Judul Asli : PENGANTIN BAITUL MAQDIS, https://muslimah.or.id/8478-pengantin-baitul-maqdis.html

2). Kreatif bikin sendiri , hh... 

3). Syair ini dikutip dari Imam Asy-Syafi’i oleh
    (a) محمد بن أبي بكر أيوب الزرعي أبو عبد الله (masyhur dengan nama Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah) dalam kitab روضة المحبين ونزهة المشتاقين , cet. دار الكتب العلمية – بيروت ، 1412 – 1992, hal. 266
    (b) : محمد بن أبي بكر أيوب الزرعي أبو عبد الله. Dalam kitab طريق الهجرتين وباب السعادتين, cet III (1414 – 1994) : دار ابن القيم –   الدمام , hal. 444.
   (c) anonim,  dalam kitab مجمع الحكم و الأمثال,  tidak tertulis halamannya.
       
       diambil dari link ini           
               

Jumat, 08 April 2016

Kisah Orang Shalih "Shalahuddin al-Ayyubi رَحِمَهُ اللهُ"


Kali ini kita akan bercerita tentang seorang laki-laki mulia dan memiliki peranan yang besar dalam sejarah Islam, seorang panglima Islam, serta kebanggaan suku Kurdi, ia adalah Shalahuddin Yusuf bin Najmuddin Ayyub bin Syadi atau yang lebih dikenal dengan Shalahuddin al-Ayyubi atau juga Saladin. Ia adalah seorang laki-laki yang mungkin sebanding dengan seribu laki-laki lainnya.

Asal dan Masa Pertumbuhannya
tikritShalahuddin al-Ayyubi adalah laki-laki dari kalangan ‘ajam (non-Arab), tidak seperti yang disangkakan oleh sebagian orang bahwa Shalahuddin adalah orang Arab, ia berasal dari suku Kurdi. Ia lahir pada tahun 1138 M di Kota Tikrit, Irak, kota yang terletak antara Baghdad dan Mosul. Ia melengkapi orang-orang besar dalam sejarah Islam yang bukan berasal dari bangsa Arab, seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Tirmidzi, dan lain-lain.
Karena suatu alasan, kelahiran Shalahuddin memaksa ayahnya untuk meninggalkan Tikrit sehingga sang ayah merasa kelahiran anaknya ini menyusahkan dan merugikannya. Namun kala itu ada orang yang menasihatinya, “Engkau tidak pernah tahu, bisa jadi anakmu ini akan menjadi seorang raja yang reputasinya sangat cemerlang.”
Dari Tikrit, keluarga Kurdi ini berpindah menuju Mosul. Sang ayah, Najmuddin Ayyub tinggal bersama seorang pemimpin besar lainnya yakni Imaduddin az-Zanki. Imaduddin az-Zanki memuliakan keluarga ini, dan Shalahuddin pun tumbuh di lingkungan yang penuh keberkahan dan kerabat yang terhormat. Di lingkungan barunya dia belajar menunggang kuda, menggunakan senjata, dan tumbuh dalam lingkungan yang sangat mencintai jihad. Di tempat ini juga Shalahuddin kecil mulai mempelajari Alquran, menghafal hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mempelajari bahasa dan sastra Arab, dan ilmu-ilmu lainnya.
Diangkat Menjadi Mentri di Mesir
Sebelum kedatangan Shalahuddin al-Ayyubi, Mesir merupakan wilayah kekuasaan kerajaan Syiah, Daulah Fathimiyah. Kemudian pada masa berikutnya Dinasti Fathimiyah yang berjalan stabil mulai digoncang pergolakan di dalam negerinya. Orang-orang Turki, Sudan, dan Maroko menginginkan adanya revolusi. Saat itu Nuruddin Mahmud, paman Shalahuddin, melihat sebuah peluang untuk menaklukkan kerajaan Syiah ini, ia berpandangan penaklukkan Daulah Fathimiyyah adalah jalan lapang untuk membebaskan Jerusalem dari kekuasaan Pasukan Salib.
Nuruddin benar-benar merealisasikan cita-citanya, ia mengirim pasukan dari Damaskus yang dipimpin oleh Asaduddin Syirkuh untuk membantu keponakannya, Shalahuddin al-Ayyubi, di Mesir. Mengetahui kedatangan pasukan besar ini, sebagian Pasukan Salib yang berada di Mesir pun lari kocar-kacir sehingga yang dihadapi oleh Asaduddin dan Shalahuddin hanyalah orang-orang Fathimyah saja. Daulah Fathimiyah berhasil dihancurkan dan Shalahuddin diangkat menjadi mentri di wilayah Mesir. Namun tidak lama menjabat sebagai menteri di Mesir, dua bulan kemudian Shalahuddin diangkat sebagai wakil dari Khalifah Dinasti Ayyubiyah.
Selama dua bulan memerintah Mesir, Shalahuddin membuat kebijakan-kebijakan progresif yang visioner. Ia membangun dua sekolah besar berdasarkan madzhab Ahlussunnah wal Jamaah. Hal ini ia tujukan untuk memberantas pemikiran Syiah yang bercokol sekian lama di tanah Mesir. Hasilnya bisa kita rasakan hingga saat ini, Mesir menjadi salah satu negeri pilar dakwah Ahlussunnah wal Jamaah atau Sunni. Kebijakan lainnya yang ia lakukan adalah mengganti penyebutan nama-nama khalifah Fathimiyah dengan nama-nama khalifah Abbasiyah dalam khutbah Jumat.
Menaklukkan Jerusalem
Persiapan Shalahuddin untuk menggempur Pasukan Salib di Jerusalem benar-benar matang. Ia menggabungkan persiapan keimanan (non-materi) dan persiapan materi yang luar biasa. Persiapan keimanan ia bangun dengan membersihkan akidah Syiah bathiniyah dari dada-dada kaum muslimin dengan membangun madrasah dan menyemarakkakn dakwah, persatuan dan kesatuan umat ditanamkan dan dibangkitkan kesadaran mereka menghadapi Pasukan Salib. Dengan kampanyenya ini ia berhasil menyatukan penduduk Syam, Irak, Yaman, Hijaz, dan Maroko di bawah satu komando. Dari persiapan non-materi ini terbentuklah sebuah pasukan dengan cita-cita yang sama dan memiliki landasan keimanan yang kokoh.

crusade

Dari segi fisik Shalahuddin mengadakan pembangunan makas militer, benteng-benteng perbatasan, menambah jumlah pasukan, memperbaiki kapal-kapal perang, membangun rumah sakit, dll.
Pada tahun 580 H, Shalahuddin menderita penyakit yang cukup berat, namun dari situ tekadnya untuk membebaskan Jerusalem semakin membara. Ia bertekad apabila sembuh dari sakitnya, ia akan menaklukkan Pasukan Salib di Jerusalem, membersihkan tanah para nabi tersebut dari kesyirikan trinitas.
Dengan karunia Allah, Shalahuddin pun sembuh dari sakitnya. Ia mulai mewujudkan janjinya untuk membebaskan Jerusalem. Pembebasan Jerusalem bukanlah hal yang mudah, Shalahuddin dan pasukannya harus menghadapi Pasukan Salib di Hathin terlebih dahulu, perang ini dinamakan Perang Hathin, perang besar sebagai pembuka untuk menaklukkan Jerusalem. Dalam perang tersebut kaum muslimin berkekuatan 63.000 pasukan yang terdiri dari para ulama dan orang-orang shaleh, mereka berhasil membunuh 30000 Pasukan Salib dan menawan 30000 lainnya.
Setelah menguras energy di Hathin, akhirnya kaum muslimin tiba di al-Quds, Jerusalem, dengan jumlah pasukan yang besar tentara-tentara Allah ini mengepung kota suci itu. Perang pun berkecamuk, Pasukan Salib sekuat tenaga mempertahankan diri, beberapa pemimpin muslim pun menemui syahid mereka –insya Allah- dalam peperangan ini. Melihat keadaan ini, kaum muslimin semakin bertambah semangat untuk segera menaklukkan Pasukan Salib.
Untuk memancing emosi kaum muslimin, Pasukan Salib memancangkan salib besar di atas Kubatu Shakhrakh. Shalahuddin dan beberapa pasukannya segera bergerak cepat ke sisi terdekat dengan Kubbatu Shakhrakh untuk menghentikan kelancangan Pasukan Salib. Kemudian kaum muslimin berhasil menjatuhkan dan membakar salib tersebut. Setelah itu, jundullah menghancurkan menara-menara dan benteng-benteng al-Quds.
Pasukan Salib mulai terpojok, merek tercerai-berai, dan mengajak berunding untuk menyerah. Namun Shalahuddin menjawab, “Aku tidak akan menyisakan seorang pun dari kaum Nasrani, sebagaimana mereka dahulu tidak menyisakan seorang pun dari umat Islam (ketika menaklukkan Jerusalem)”. Namun pimpinan Pasukan Salib, Balian bin Bazran, mengancam “Jika kaum muslimin tidak mau menjamin keamanan kami, maka kami akan bunuh semua tahanan dari kalangan umat Islam yang jumlahnya hampir mencapai 4000 orang, kami juga akan membunuh anak-anak dan istri-istri kami, menghancurkan bangunan-bangunan, membakar harta benda, menghancurkan Kubatu Shakhrakh, membakar apapun yang bisa kami bakar, dan setelah itu kami akan hadapi kalian sampai darah penghabisan! Satu orang dari kami akan membunuh satu orang dari kalian! Kebaikan apalagi yang bisa engkau harapkan!” Inilah ancaman yang diberikan Pasukan Salib kepada Shalahuddin dan pasukannya.




Dome of The Rock atau Kubatu Shakhrakh
Dome of The Rock atau Kubatu Shakhrakh
Shalahuddin pun mendengarkan dan menuruti kehendak Pasukan Salib dengan syarat setiap laki-laki dari mereka membayar 10 dinar, untuk perempuan 5 dinar, dan anak-anak 2 dinar. Pasukan Salib pergi meninggalkan Jerusalem dengan tertunduk dan hina. Kaum muslimin berhasil membebaskan kota suci ini untuk kedua kalinya.
Shalahuddin memasuki Jerusalem pada hari Jumat 27 Rajab 583 H / 2 Oktober 1187, kota tersebut kembali ke pangkuan umat Islam setelah selama 88 tahun dikuasai oleh orang-orang Nasrani. Kemudian ia mengeluarkan salib-salib yang terdapat di Masjid al-Aqsha, membersihkannya dari segala najis dan kotoran, dan mengembalikan kehormatan masjid tersebut.




Masjid al-Aqsha
Masjid al-Aqsha
Wafatnya Sang Pahlawan
Sebagaimana manusia sebelumnya, baik dari kalangan nabi, rasul, ulama, panglima perang dan yang lainnya, Shalahuddin pun wafat meninggalkan dunia yang fana ini. Ia wafat pada usia 55 tahun, pada 16 Shafar 589 H bertepatan dengan 21 Febuari 1193 di Kota Damaskus. Ia meninggal karena mengalami sakit demam selama 12 hari. Orang-orang ramai menyalati jenazahnya, anak-anaknya Ali, Utsman, dan Ghazi turut hadir menghantarkan sang ayah ke peristirahatannya. Semoga Allah meridhai, merahmati, dan  membalas jasa-jasa engkau wahai pahlawan Islam, sang pembebas Jerusalem.
Sumber:
Shalahuddin al-Ayyubi Bathalu al-Hathin oleh Abdullah Nashir Unwan
Shalahuddin al-Ayyubi oleh Basim al-Usaili
Shalahuddin al-Ayyubi oleh Abu al-Hasan an-Nadawi
Islamstroy.com
Ditulis oleh Nurfitri Hadi
Artikel www.KisahMuslim.com
https://kisahmuslim.com/3915-shalahuddin-al-ayyubi.html
Untuk mendengarkan kisahnya versi suara / mp3 khalifah trans7, bisa di download disini : http://www.4shared.com/mp3/7Xe8MYdlce/Khalifah_-_Shalahuddin_Al_Ayyu.html