Minggu, 27 Maret 2016

Uwais Al-Qarni : “Saya bersumpah kepada Anda wahai Amriul Mukminin agar engkau tidak melakukannya. Biarkanlah saya berjalan di tengah lalu lalang banyak orang tanpa dipedulikan orang.”

  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bercerita mengenai Uwais al-Qarni tanpa pernah melihatnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia seorang penduduk Yaman, daerah Qarn, dan dari kabilah Murad. Ayahnya telah meninggal. Dia hidup bersama ibunya dan dia berbakti kepadanya. Dia pernah terkena penyakit kusta. Dia berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalu dia berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalu dia diberi kesembuhan, tetapi masih ada bekas sebesar dirham di kedua lengannya. Sungguh, dia adalah pemimpin para tabi’in.”


Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, “Jika kamu bisa meminta kepadanya untuk memohonkan ampun (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala) untukmu, maka lakukanlah!”
Ketika Umar radhiyallahu ‘anhu telah menjadi Amirul Mukminin, dia bertanya kepada para jamaah haji dari Yaman di Baitullah pada musim haji, “Apakah di antara warga kalian ada yang bernama Uwais al-Qarni?” “Ada,” jawab mereka.
Umar radhiyallahu ‘anhu melanjutkan, “Bagaimana keadaannya ketika kalian meninggalkannya?”
Mereka menjawab tanpa mengetahui derajat Uwais, “Kami meninggalkannya dalam keadaan miskin harta benda dan pakaiannya usang.”
Umar radhiyallahu ‘anhu berkata kepada mereka, “Celakalah kalian. Sungguh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bercerita tentangnya. Kalau dia bisa memohonkan ampun untuk kalian, lakukanlah!”
Dan setiap tahun Umar radhiyallahu ‘anhu selalu menanti Uwais. Dan kebetulan suatu kali dia datang bersama jemaah haji dari Yaman, lalu Umar radhiyallahu ‘anhu menemuinya. Dia hendak memastikannya terlebih dahulu, makanya dia bertanya, “Siapa namamu?”
“Uwais,” jawabnya.
Umar radhiyallahu ‘anhu melanjutkan, “Di Yaman daerah mana?’
Dia menjawab, “Dari Qarn.”
“Tepatnya dari kabilah mana?” Tanya Umar radhiyallahu ‘anhu.
Dia menjawab, “Dari kabilah Murad.”
Umar radhiyallahu ‘anhu bertanya lagi, “Bagaimana ayahmu?”
“Ayahku telah meninggal dunia. Saya hidup bersama ibuku,” jawabnya.
Umar radhiyallahu ‘anhu melanjutkan, “Bagaimana keadaanmu bersama ibumu?’
Uwais berkata, “Saya berharap dapat berbakti kepadanya.”
“Apakah engkau pernah sakit sebelumnya?” lanjut Umar radhiyallahu ‘anhu.
“Iya. Saya pernah terkena penyakit kusta, lalu saya berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga saya diberi kesembuhan.”
Umar radhiyallahu ‘anhu bertanya lagi, “Apakah masih ada bekas dari penyakit tersebut?”
Dia menjawab, “Iya. Di lenganku masih ada bekas sebesar dirham.” Dia memperlihatkan lengannya kepada Umar radhiyallahu ‘anhu. Ketika Umar radhiyallahu ‘anhu melihat hal tersebut, maka dia langsung memeluknya seraya berkata, “Engkaulah orang yang diceritakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mohonkanlah ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untukku!”
Dia berkata, “Masa saya memohonkan ampun untukmu wahai Amirul Mukminin?”
Umar radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Iya.”
Umar radhiyallahu ‘anhu meminta dengan terus mendesak kepadanya sehingga Uwais memohonkan ampun untuknya.
Selanjutnya Umar radhiyallahu ‘anhu bertanya kepadanya mengenai ke mana arah tujuannya setelah musim haji. Dia menjawab, “Saya akan pergi ke kabilah Murad dari penduduk Yaman ke Irak.”
Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Saya akan kirim surat ke walikota Irak mengenai kamu?”
Uwais berkata, “Saya bersumpah kepada Anda wahai Amriul Mukminin agar engkau tidak melakukannya. Biarkanlah saya berjalan di tengah lalu lalang banyak orang tanpa dipedulikan orang.”
Sumber: Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah, Pustaka Arafah Cetakan 1
Artikel www.KisahMuslim.com

Alhamdulillah jika memang benar kamu Terasing karena menegakkan Agama Allah Ta'ala,,

SUATU KETERASINGAN DI TENGAH KERAMAIAN

—oOo—
 

Keterasingan di tengah keramaian adalah suatu fenomena yang kini sudah tidak asing lagi di tengah-tengah manusia di mana kebanyakan manusia berbuat kerusakan maka segelintir manusia berbuat perbaikan. Di antara kerusakan itu ialah:

Pinjam-meminjam dengan cara Riba seakan-akan menjadi mu’amalah yang mubah -waliya’udzubillaah-
Menjalin hubungan perasaan (cinta) terlarang seakan-akan bukan lagi suatu kemaksiatan -waliya’udzubillaah-
Menggunakan Pakaian Muslim seakan-akan menjadi suatu kejanggalan dan keanehan di mata masyarakat muslim sendiri -subhaanallaah-
Mendengarkan Al-Qur’an dan membacanya menjadi suatu yang mengganggu tetangga padahal tetangga yang menyetel musik sekeras-kerasnya tidak menjadi suatu gangguan -Subhanallaah-
Ketika seseorang berbuat amar ma’ruf nahi munkar seolah-olah ia menjadi pahlawan kesiangan yang tidak berarti di tengah manusia -Subhanallaah-
Ketika seseorang berusaha menegakkan Sunnah Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ejekan dan celaan pun ditujukan padanya dianggapnya “sok religius loe” -Subhanallaah-
Ketika segelintir da’i menyerukan kepada Tauhid menjauhi Syirik, menyerukan kepada As-Sunnah dan menjauhi Bid’ah maka masyarakat pun menolaknya dan bahkan menentang serta mengusirnya karena bertolak-belakang dengan tradisi dan adat setempat -Subhanallaah-
Ketika banyak da’i yang mengajak kepada kesesatan dengan wujud kebaikan serta tidak bertentangan dengan budaya dan tradisi masyarakat maka da’i-da’i itu pun mendapatkan posisi yang tertinggi dan dielu-elukan bahkan bisa sampai disembah-sembah oleh masyarakat. -waliya’udzubillaah-
Betapa banyaknya manusia bermain Riba di Bank
Betapa sedikitnya manusia bersabar atas kekurangan harta
Betapa banyaknya manusia berpacaran
Betapa sedikitnya manusia ta’aruf syar’i
Betapa banyaknya manusia menanggalkan jilbab syar’i
Betapa sedikitnya manusia berpakaian telanjang
Betapa banyaknya manusia berjoget-joget sambil bernyanyi
Betapa sedikitnya manusia duduk membaca Al-Qur’an
Betapa banyaknya manusia mendukung kemaksiatan
Betapa sedikitnya manusia mendukung ketaatan
Betapa banyaknya manusia membiarkan kemudharatan
Betapa sedikitnya manusia mencegah kemudharatan
Sesungguhnya kesemuanya ini adalah suatu keadaan yang telah diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak dahulu dan ternyata keadaan itu sedang berlangsung di masa kini di mana kesemuanya itu menjadi suatu fenomena yang pahit bagi Al-Ghuraba di mana Al-Ghuraba menjadi segelintir kaum muslimin yang minoritas dan terasing di tengah-tengah kepadatan masyarakat.
—oOo—
Tanya:
Lalu Siapakah Al-Ghuraba ?
Jawab:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
بَدَأَ الْإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا، فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ- زاد جماعة من أئمة الحديث في رواية أخرى- قِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، وَمَنِ الْغُرَبَاءُ؟ قَالَ: الَّذِينَ يُصْلِحُونَ إِذَا فَسَدَ النَّاسُ
“Islam berawal dengan keasingan dan akan kembali asing sebagaimana mulanya, maka beruntunglah Al-Ghuraba.”[HR. Muslim] dalam riwayat lain terdapat tambahan: Ditanyakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, siapakah al-Ghuraba’?” Beliau menjawab, “Orang-orang yang melakukan perbaikan saat manusia rusak.”
Al-‘Allamah Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baaz rahimahullaahu ta’ala menerangkan makna Al-Ghuraba yaitu:
فالمقصود أن الغرباء هم أهل الاستقامة، فطوبى للغرباء، أي الجنة والسعادة للغرباء الذين يصلحون عند فساد الناس، إذا تغيرت الأحوال، و…… الأمور، وقل أهل الخير، ثبتوا هم على الحق، واستقاموا على دين الله، ووحدوا الله، وأخلصوا له في العبادة، واستقاموا على الصلاة والزكاة والصيام والحج وسائر أمور الدين، هؤلاء هم الغرباء وهم الذين قال الله فيهم وفي أشباههم
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ * نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ -أي ما تطلبون- نُزُلًا مِّنْ غَفُورٍ رَّحِيمٍ[فصلت: 30-32]. ف
فالإسلام بدأ غريباً في مكة لم يؤمن به إلا القليل، وأكثر الخلق عادوه وعاندوا النبي -صلى الله عليه وسلم-، وآذوه -عليه الصلاة والسلام-، وآذوا أصحابه الذين أسلموا، ثم انتقل المدينة مهاجراً وانتقل معه من قدم من أصحابه، وكان غريباً أيضاً حتى كثر أهله في المدينة وفي بقية الأمصار، ثم دخل الناس في دين الله أفواجاً بعد أن فتح الله على نبينا مكة -عليه الصلاة والسلام-.
Adapun Maksud dari (Al-Ghuraba) ialah orang-orang yang beristiqamah. (Maka beruntunglah Al-Ghuraba) yaitu: (disediakannya) Surga dan Kebahagiaan bagi Al-Ghuraba yang mereka itu memperbaiki orang-orang yang berbuat kerusakan disaat keadaan dan segala urusan telah berubah (menjadi rusak) dan dikatakan juga sebagai Ahlul Khair (orang-orang yang berbuat kebaikan) teguh di atas kebenaran dan konsisten di atas Agama Allah serta mentauhidkan Allah dan mengikhlaskan peribadahan hanya untuk-Nya, dan mereka juga istiqamah dalam Shalat, Zakat, Puasa, Haji dan seluruh perkara-perkara Agama dan mereka itulah yang dinamakan Al-Ghuraba. mereka (Al-Ghuraba) dan semisalnya yang disebutkan dalam Firman Allah ta’ala:
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” Kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang Telah dijanjikan Allah kepadamu. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Fushilat: 30-32)
Islam itu dimulai dengan keterasingan di Makkah dan tidak ada yang beriman terhadapnya kecuali sedikit sekali dan kebanyakan manusia sangat memusuhinya dan memusuhi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan mengganggu beliau ‘alaihish shalaatu was salaam dan juga para shahabatnya yang telah memeluk Islam yang kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta kaum Muhajirin dari kalangan para shahabatnya berpindah ke Madinah. dan keadaan mereka pun tetap asing hingga terdapat para pengikut beliau di Madinah dalam jumlah yang banyak dari kalangan Anshar dan kemudian orang-orang pun memeluk Agama Allah (Islam) secara berbondong-bondong setelah Allah ta’ala membukakan kota Makkah (Fathul Makkah) untuk Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam.[1]
Dengan demikian seorang yang terasing di tengah keramaian dikarenakan ia berusaha istiqamah dalam menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya dan teguh di atas Al-Haq (kebenaran) dan ittiba’ (mengikuti) petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas pemahaman para salafush shalih hendaknya janganlah merasa berkecil hati karena kondisi seperti ini sudah diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  dalam sabdanya dan mereka itu dikatakan “beruntunglah Al-Ghuraba” yang mafhum mukhalafah-nya adalah celakalah kebanyakan manusia yang mereka telah lalai dari kewajibannya karena tergiur oleh fitnah duniawi semata dan hal ini dapat diketahui sebagaimana Allah ta’ala telah menerangkan dalam firman-Nya Surat Al-‘Ashr bahwasanya seluruh manusia berada dalam keadaan yang merugi kecuali ia memiliki empat shifat dalam dirinya[2]. Semoga apa yang kami sampaikan ini bermanfaat bagi kami dan antum sekalian.
—oOo—
[Abul Jibrin: Tangerang Selatan, Ahad 15/09/2013, 10.30 AM]

  1. Sumber: http://www.binbaz.org./
  2. Baca juga artikel: Melepaskan Diri Dari Kerugian (Tafsir Surat Al-‘Ashr)