Suatu kaum memerintahkan seorang wanita cantik jelita untuk menggoda Rabi’ bin khutsaim, dengan harapan wanita itu dapat menggodanya. Kaum itu, menyediakan hadiah sebanyak seribu Dirham kepada wanita itu, jika ia berhasil melakukan hal tersebut. Ia pun memakai pakaian yang paling indah dan menggunakan parfum yang paling harum. Kemudian mulailah ia menggoda Rabi’ bin Khutsaim saat Rabi’ keluar dari Mesjid. Rabi’ pun memandangnya dengan tetap waspada dari tipu daya wanita itu.
Wanita itu lalu mendekati Rabi’, rabi' Kemudian berkata kepadanya,
“Apa yang akan terjadi denganmu jika kamu terkena demam yang dapat menjadikan warna kulit dan wajahmu berubah(buruk)? Apa yang akan terjadi denganmu jika malaikat Maut datang mencabut nyawamu? Apa yang akan kamu lakukan jika malaikat Mungkar dan Nakir bertanya kepadamu?”
Wanita itu berteriak histeris dan jatuh pingsan. Setelah sadar, ia pun bertobat dan beribadah kepada Tuhannya.
(Sumber: Air Mata Wanita yang Bertobat, karya Majdi asy-Syahawi, pustaka cendekia sentra muslim, hal: 115)
“Sami’na wa`atha’na”, itulah sikap seorang mukmin ketika sampai
kepadanya perintah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sikap
ini sebagai bukti keimanannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan sebagai bukti kecintaannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala .
Memang demikianlah, menjadi keharusan bagi seseorang yang telah
bersaksi Muhammad adalah utusan Allah untuk menerima segala yang telah
menjadi keputusan Rasulullah. Tidak ada lagi pilihan bagi dirinya,
kecuali harus tunduk dan patuh, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak memerintahkan kecuali dalam perintah tersebut mengandung
banyak hikmah. Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang,
kecuali dalam larangan itu terdapat bahaya besar.
Sikap taat, tunduk dan patuh itu selalu menghiasi para sahabat
Rasulullah yang merupakan satu generasi terdidik di bawah naungan cahaya
Nubuwwah. Generasi yang dipuji oleh Allah dan yang terpilih untuk
menemani, serta mendukung dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka
sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. [al-Ahzâb/33 : 36].
Ada suatu kisah sangat menarik berkaitan dengan ayat yang mulia ini.
Yaitu kisah seorang sahabat Rasulullah yang bernama Julaibib
Radhiyallahu anhu. Sahabat ini bukan termasuk orang terpandang di
kalangan kaum Anshar. Perawakannya juga kurang bagus. Sahabat ini
termasuk dalam kategori orang miskin, tidak memiliki harta. Meskipun
demikian, beliau sangat dicintai oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam karena ketakwaan yang ada pada dirinya.
Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin
menikahkannya dengan salah seorang putri sahabat Anshar. Maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi rumah sahabat Anshar ini dan
berkata: “Nikahkanlah putrimu denganku”.
Mendengar ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sahabat
tadi tanpa berpikir panjang langsung menerima tawaran Rasulullah. Satu
kesempatan yang sangat berharga, dan suatu kebanggaan tak ternilai
ketika terjalin hubungan dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
. Akan tetapi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan,
bahwa pinangan ini bukan untuk dirinya.
“Kalau begitu pinangan ini untuk siapa, wahai Rasulullah?” katanya dengan penuh tanda tanya.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Untuk Julaibib Radhiyallahu anhu”.
Dengan penuh kebingungan sahabat itu menjawab: “Baiklah, wahai
Rasulullah! Tetapi aku harus bermusyawarah terlebih dahulu dengan
istriku”.
Pergilah sahabat ini menemui istrinya. Terlintas di benaknya, apa
kata orang jika putriku menikah dengan Julaibib Radhiyallahu anhu ?!
Bagaimana martabat keluarganya?!
Setelah bertemu dengan istrinya, iapun menceritakan pinangan
Rasulullah. Dia berkata: “Wahai, istriku. Sesungguhnya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminang putrimu,” serta merta istrinya
menjawab: “Iya, aku sangat setuju”.
“Akan tetapi Rasulullah tidak meminang untuk dirinya, ” jelas sang suami.
“Lantas untuk siapa pinangan itu,” tanya istrinya penuh keheranan.
“Rasulullah meminangnya untuk Julaibib Radhiyallahu anhu ,” tandasnya.
Istrinya menjawab: “Untuk Julaibib Radhiyallahu anhu ? Tidak! Aku tidak setuju. Jangan engkau nikahkan dengannya!”
Mereka enggan memiliki seorang menantu seperti Julaibib Radhiyallahu
anhu yang tidak memiliki apa-apa. Demikianlah, keadaan sebagian orang
tua yang terkadang lebih mengutamakan dunia seseorang dari pada
agamanya.
Percakapan itu ternyata terdengan oleh putrinya. Lantas bagaimana dengan sikap putrinya mendengar pinangan dari Rasulullah?
Tak disangka, ketika bapaknya hendak beranjak pergi untuk menolak
pinangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , terdengarlah suara
dari dalam kamar: “Siapakah yang telah meminangku, wahai ayah?”
Sang ibu kemudian menceritakan bahwa yang meminang adalah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , akan tetapi pinangan itu bukan untuk
dirinya, tetapi untuk Jualaibib,
Ternyata putrinya menjawab dengan tegas: “Apakah kalian menolak
perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Tidakah kalian
mendengar firman Allah
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka. – al-Ahzâb/33 ayat 36- Terimalah pinangan itu, karena ia tidak
akan menyia-nyiakanku. Ketahuilah, aku tidak akan menikah kecuali dengan
Julaibib Radhiyallahu anhu !”
Mendengar penuturan putrinya, maka pergilah sahabat itu menghadap
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sesampai di hadapan
Rasulullah, iapun berkata: “Wahai, Rasulullah! Aku menerima pinanganmu.
Nikahkanlah putriku dengan Julaibib Radhiyallahu anhu “.
Sungguh satu pernyataan yang menunjukkan ketundukan terhadap perintah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Wanita shalihah ini tidak
melihat diri calon pendamping hidupnya, kecuali dengan pandangan agama.
Dia sangat memahami, bahwa kemuliaan dan kebahagiaan hidup seseorang
hanyalah dengan ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Itulah
sikap seorang yang beriman kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam . Perintah Rasulullah selalu didahulukan dari keinginan
pribadinya. Dia yakin, keputusan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam itu yang terbaik. Ya, ilmu selalu membimbingnya kepada kebaikan,
ketundukan kepada perintah Allah dan Rasul-Nya.
Tak terperi, kebahagiaan pun meliputi Julaibib Radhiyallahu anhu .
Istri yang shalihah akan segera menjadi pendamping hidupnya. Kehidupan
baru akan segera ia jalani.
Namun, kiranya angan-angan itu serasa hilang, ketika panggilan jihad
megetuk hatinya. Karena pada saat yang bersamaan, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kaum muslimin agar berjihad di
jalan Allah. Julaibib Radhiyallahu anhu dalam kebimbangan. Ia bingung
manakala harus memilih antara istri shalihah, kebahagiaan, atau mati
shahid yang selama ini dicita-citakannya?! Akhirnya, ternyata kerinduan
terhadap mati syahid di medan perang menjadi pilihannya.
Maka berangkatlah Julaibib Radhiyallahu anhu menuju medan perang. Dia
tinggalkan calon istrinya yang shalihah dan kebahagiaan yang akan
segera ia peroleh, demi menyambut panggilan Rabbnya, yaitu berjihad di
jalan-Nya.
Sudah menjadi kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Beliau sangat memberi perhatian kepada para sahabatnya usai peperangan.
Biasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan siapa saja yang
syahid dalam peperangan itu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabatnya: “Siapa saja yang gugur di jalan Allah?”
Mereka menjawab: ” Fulan dan fulan, wahai Rasulullah”.
Mereka tidak menyebutkan nama yang dicari oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam , yakni Julaibib Radhiyallahu anhu . Maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali menanyakan kepada para sahabat,
dan jawaban mereka sama.
Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berseru: “Sesunguhnya
aku telah kehilangan salah seorang sahabatku, Jualaibib. Carilah ia!”
Para sahabat segera mencari jasad Julaibib Radhiyallahu anhu . Dan
mereka mendapatkan jasadnya tersungkur. Di sekelilingnya terdapat tujuh
jasad orang kafir. Segeralah para sahabat memberitahukan kepada
Rasulullah tentang Julaibib Radhiyallahu anhu , maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam segera menghampiri jasadnya. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di sampingnya dan bersabda: ” Dia
telah membunuh tujuh orang ini, kemudian mereka membunuhnya.
Sesungguhnya, ia adalah aku, dan aku adalah dia”. Rasulullan n
mengucapkannya sebanyak tiga kali. Kemudian, dengan penuh lemah lembut
dan kasih sayang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat
jasadnya dan menyandarkan di lengannya.
Para sahabat mempersiapkan liang lahat untuknya, dan Rasulullah terus
menyandarkan jasad Julaibib Radhiyallahu anhu di lengannya, sampai
akhirnya ia di kuburkan. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatinya.
Itulah akhir kehidupan Sahabat Julaibib Radhiyallahu anhu . Beliau
menutup lembaran-lembaran amalnya dengan mati syahid di jalan Allah.
Lalu, bagaimanakah dengan wanita shalihah yang siap mendampinginya?
Sepeninggal Sahabat Julaibib Radhiyallahu anhu z , wanita itu menjadi
seorang yang kaya raya di kalangan kaum Anshar. Semua itu berkat doa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Yaitu ketika beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa: “Ya, Allah! Curahkanlah kebaikan
untuknya. Dan jangan Engkau menjadikan untuknya kehidupan yang susah”.
Dengan doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, ia
mendapatkan keberkahan dalam kehidupannya. Demikianlah hikmah lantaran
taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Semoga kisah ini
menjadi pelajaran bagi kita. Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XII/1429H/2008M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl9 Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Baru-baru
ini, dunia Islam berduka, kehilangan salah seorang putra terbaiknya di
zaman ini, Syaikh Syu’aib al-Arnauth. Beliau adalah seorang peneliti
hadits yang produktif. Setidaknya, ada 240 buku yang sudah ia tahqiq
(kaji dan teliti riwayat-riwayatnya). Pada tanggal 26 Muharam 1438 H
bertepatan dengan 27 Oktober 2016, ulama ahli hadits ini meninggal. Rahimahullah rahmatan wasi’atan.
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu sekaligus dari para hamba,
akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Ketika
tidak tersisa lagi seorang yang berilmu, orang-orang akan menjadikan
orang-orang tidak berpengetahuan sebagai pemimpin. Kemudian mereka
ditanya, mereka akan memberikan fatwa tanpa ilmu. Mereka sesat lagi
menyesatkan orang lain.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Mengenal Syaikh Syu’aib al-Arnauth
Namanya adalah Syu’aib bin Muharram al-Arnauth. Al-Arnauth adalah
sebutan untuk salah satu kabilah di Albania. Keluarganya hijrah dari
Albani menuju Damaskus pada tahun 1926. Sejak saat itu, mereka tinggal
di wilayah Syam itu. Mereka memilih tanah Syam, karena ayahnya tahu
keutamaan Syam dan penduduknya. Ayah Syaikh Syu’aib adalah seorang yang
mencintai ulama. Ia juga senang sekali bersahabat bersama para ahli
ilmu.
Syaikh Syu’aib al-Arnauth lahir di Damaskus pada tahun 1928. Ia
tumbuh besar di bawah bimbingan sang ayah. Ayahnya mengajarinya
pondasi-pondasi keislaman. Dan membimbingnya menghafal sejumlah juz
Alquran. Keakrabannya dengan Alquran sedari kecil membuatnya bersemangat
memahami makna-makna Alquran secara mendalam. Keingin-tahuannya itu
menjadi sebab utama yang memotivasinya untuk belajar bahasa Arab di usia
yang masih belia. Ia menyibukkan diri di masjid. Mencari
majelis-majelis bahasa Arab dan cabang-cabang keilmuannya. Seperti:
Sharf, sastra, Balaghah, dll.
Sebagian ulama, seperti Imam Malik, asy-Syafi’i, dll. ibu mereka
begitu besar pengaruhnya dalam pertumbuhan keshalehan dan keilmuan
mereka. Ada pula yang bapak-bapak merekalah yang dicatat dalam biografi
mereka sebagai orang yang berpengaruh dalam keilmuannya.
Belajar dari Para Ulama
Syaikh al-Arnauth muda mulai serius menekuni
bahasa Arab. Ia datangi para ustadz dan ulama ahli bahasa Arab di Kota
Damaskus. Di antaranya: Syaikh Shaleh al-Farfur, Syaikh Arif ad-Duwaiji
–yang merupakan murid dari Syaikh Badruddin al-Husna-, dll. Bersama
guru-gurunya itu, Syaikh al-Arnauth mempelajari buku-buku rujukan utama
ilmu bahasa Arab dan balaghah. Seperti: Syarah Ibnu Aqil, Kifayah karya Ibnu Hajib, al-Mufashshal karya Zamakhsyary, Syudzur adz-Dzahab karya Ibnu Hisyam, Asrar al-Balaghah, dan Dala-il al-I’jaz karya Jurnany.
Guru-gurunya yang lain adalah Syaikh Sulaiman al-Ghawaji al-Albani, seorang ulama yang mensyarah al-‘Awamil karya al-Baruky, al-Izh-har karya al-Athahly, dll.
Setelah membekali diri dengan kemampuan yang mumpuni dalam bahasa
Arab, Syu’aib al-Arnauth mulai mempelajari ilmu Fikih, terutama kajian
fikih Madzhab Hanafi. Dalam fan ini, ia pun memiliki banyak guru yang
mengajarkannya banyak buku. Buku-buku Madzhab Hanafi yang ia kaji adalah
Muraqi al-Falah karya asy-Syarnabilaly, al-Ikhtiyar karya al-Maushuly, al-Kitab karya al-Qadury, dan Hasyiyah Ibnu Abidin.
Selama 7 tahun, ia tenggelamkan dirinya dalam kajian-kajian fikih.
Kemudian ia mempelajari Ushul Fiqh, Tafsir Alquran, Musthalah
al-Hadits, dan buku-buku akhlak. Saat itu usia beliau sudah lebih dari
30 tahun.
Menjadi Peneliti Hadits (Muhaqqiq)
Saat mempelajari fikih, Syaikh al-Arnauth rahimahullah
bersentuhan dengan status sebuah hadits, shahih atau tidak. Hal ini
memotivasinya untuk meneliti buku-buku fikih yang muatan materinya
adalah hadits. Ia memfokuskan diri pada penelitian tersebut. Sampai
akhirnya, ia menjadi spesialis dalam kajian ini. Cabang keilmuan yang
baru ia tekuni ini bukanlah permasalahan ringan. Butuh waktu yang luas
dan fokus yang luar biasa. Karena itu, sejak tahun 1955, ia meninggalkan
pengkajian bahasa Arab. Mulailah ia menghabiskan waktunya untuk
meneliti warisan Islam.
Pada tahun 1982, Syaikh al-Arnauth pindah ke Omman. Di tempat baru
ini, ia menjalin kerja sama dengan percetakan Muassasah ar-Risalah. Di
percetakan ini, keahliannya makin terasah. Ia mengeluarkan usaha terbaik
berkhidmat kepada Islam dan kaum muslimin dengan meneliti warisan
peradaban Islam.
Rujuk ke Aqidah Salaf
Dalam sebuah rekaman, Syaikh Syu’aib al-Arnauth menceritakan sedikit
fase kehidupan ke-agama-annya. Syaikh ditanya, “Wahai Syaikh, -segala
puji bagi Allah- Anda berakidah salaf.” “Insya Allah,” jawab Syaikh
Syu’aib. Penanya melanjutkan, “Tapi, di tempat kami ada Madrasah
Asy’ariyah yang mengatakan Anda adalah seorang Asy‘ari. Dan ahli hadits
dari kalangan Asy‘ari. Kami ingin mendengar langsung dari Anda.”
Syaikh Syu’aib menjawab, “Tidak, demi Allah.
Pada awal perjalanan hidupku, guru-guruku berakidah Maturidiyah. Namun,
saat aku mulai menulis, ku temukan sebuah buku yang berjudul Aqawil ats-Tsiqat fi Itsbati al-Asma wa ash-Shifat
karya Mar’i bin Yusuf al-Karmi. Dalam buku tersebut terdapat pembelaan
terhadap Madzha as-Salaf, dan inilah yang aku yakini sekarang. Madzhab
as-Salaf lebih selamat dan lebih berlandaskan ilmu. Dalam masalah sifat
Allah, kita harus menetapkan apa yang Allah tetapkan untuk diri-Nya.
Tanpa tasybih (menyerupakan) dan juga ta’thil
(mengingkari). Kita tidak boleh menyamakan Allah (dengan sesuatu) dan
mengingkari sifat-Nya. Dan saya meyakini bahwa sifat-sifat Allah itu
tidak mampu dijangkau akal. Setiap malam, Allah Rabbul ‘alamin turun ke langit dunia. Ini terdapat dalam hadits riwayat al-Bukhari dalam Shahih-nya. Kita harus beriman Allah turun, tapi kita tidak mengetahui bagaimana tata cara turun-Nya.”
Murid-Muridnya
Syaikh Syu’aib al-Arnauth memiliki murid yang banyak. Di antaranya:
Muhammad Na’im al-‘Arqasusi, Ibrahim az-Zaibeq, Adil Mursyid, Umar Hasan
al-Qayyam, Abdul Lathif Hirazullah, Ahmad Barhum, Ridwan al-‘Arqasusi,
dan Kamil Qurah Bilali.
Syaikh al-Arnauth memiliki perhatian besar terhadap kemampuan ilmiah
murid-muridnya. Ia langsung memberikan beban penelitian kepada mereka
yang telah ia akui kredibilitasnya. Metode dan gaya tahqiq
hadits yang dilakukan oleh murid-murid Syaikh al-Arnauth sangat mirip
dengan gurunya. Demikianlah memang, tradisi keilmuan seseorang akan
terjaga dengan banyaknya murid. Sebagaimana madzhab yang empat, tetap
terjaga hingga kini karena murid-murid empat imam tersebut mencatat,
membukukan, dan mendakwahkan metodologi kajian fikih mereka. Sedangkan
madzhab-madzhab fikih yang lain hilang, karena tidak ada yang
mewariskan.
Syaikh Na’im al-‘Arqasusi berkata dalam pengantar tahqiq kitab Taudhih al-Musytabah
karya Ibnu nashiruddin, “Kuucapkan terima kasih yang besar terkhusus
kepada dia, yang bukan kalau karena perhatian dan bimbingannya, aku
tidak mampu meneliti warisan-warisan Islam. Kepada dia yang pantas
mendapatkan pernghormatan. Seorang yang mulia, yang terhormat guruku,
Syaikh Syu’aib al-Arnauth hafizhahullah.”
Syaikh Ibrahim az-Zaibeq juga mengucapkan terima kasihnya kepada sang
guru yang begitu berpengaruh pada keilmuannya. Ia mengucapkan terima
kasihnya di pengantar tahqiq kitab Thabaqat Ulama al-Hadits karya
Ibnu Abdul Hadi, “Selanjutnya.. apakah cukup kalimat syukur
kupersembahkan kepada guruku syaikh-ku, Syu’aib al-Arnauth? Apakah cukup
kalimat pujian dariku yang kutulis untuknya dengan penuh cinta yang
tulus? Sungguh jasanya terhadapku lebih luas dari rasa terima kasih dan
lebih mulia dari pujian. Sesungguhnya dia membukakan mataku tentang
hakikat kehidupan. Aku mengalami perjalananku dengan pikiran yang
tertunduk dan hati yang rendah, ia menjadikan hari-hariku menjadi tahun
yang penuh arti dan berharga. Kemudian ia menggandeng tanganku memasuki
dunia tahqiq… …Untukmu wahai guruku, terima kasih yang lebih
luas dari terima kasih itu sendiri, pujian yang lebih agung dari pujian
itu sendiri. Dan Allah yang menjadi penolongku membalasmu dengan
sebaik-baik balasan.”
Alangkah indahnya penghormatan sang murid kepada gurunya ini.
Syaikh Umar Hasan al-Qayyam mengatakan dalam pengantar tahqiq-nya terhadap Risalah Ibnu Rajab al-Hanbali,
“Dia memotivasiku untuk menempuh jalan ini, guruku al-muhaddits
al-‘alamah Syu’aib al-Arnauth, salah seorang pakar hadits di masa
sekarang ini.”
Hubungan Syaikh Syu’aib al-Arnauth dengan murid-muridnya layaknya
hubungan pertemanan. Ia dekat dengan murid-muridnya. Memiliki semangat
besar agar murid-muridnya mendapatkan kebaikan. Ia tidak memaksakan
pendapatnya kepada murid-muridnya. Ia senang jika murid-muridnya
memiliki keilmuan yang mandiri. Tidak jarang ia mengajak murid-muridnya
berdiskusi dan bertukar pikiran. Hal inilah yang memiliki pengaruh luar
biasa dalam perkembangan keilmiahan murid-muridnya.
Karya-Karya Penelitiannya
Buku-buku yang diteliti oleh Syaikh Syu’aib al-Arnauth tidak kurang
dari 240 judul buku. Terdiri dari buku-buku hadits, fikih, tafsir
Alquran, tarajim, akidah, mushthalah al-hadits, adab, dll.
Di antara buku yang ia teliti adalah:
Diterbitkan oleh Maktab al-Islami:
Syarhu as-Sunnah karya al-Baghawi berjumlah 16 jilid,
Raudhatu ath-Thalibin karya an-Nawawi. Penelitian bekerja sama dengan Syaikh Abdul Qadir al-Arnauth. Buku tersebut terdiri dari 12 jilid.
Muhadzdzab al-Aghani karya Ibnu Manzhur berjumlah 12 jilid.
Al-Mubdi’ fi Syarhi al-Muqni’ karya Ibnu Muflih al-Hanbali berjumlah 10 jilid.
Zad al-Masir fi Ilmi at-Tafsir karya Ibnu al-Jauzi. Penelitian ini bekerja sama dengan Syaikh Abdul Qadir al-Arnauth. Buku tersebut terdiri dari 6 jilid.
Mathalib Ulin Nuha fi Syarhi Ghayatu al-Muntaha karya ar-Ruhaibani. Penelitian ini bekerja sama dengan Syaikh Abdul Qadir al-Arnauth. Terdiri dari 6 jilid.
Al-Kafi fi Fiqhi al-Imam al-Mubajjal Ahmad bin Hanbal karya Ibnu Qudamah. Penelitian ini bekerja sama dengan Syaikh Abdul Qadir al-Arnauth. Terdiri dari 3 jilid.
Manaru as-Sabil fi Syarhi ad-Dalil karya Ibnu Dhuyan. Teridir dari 2 jilid.
Al-Manazil wa ad-Diyar karya Usamah bin Munqidz. Terdiri dari dua jilid.
Musnad Abu Bakar karya al-Marwazi. Terdiri dari dua jilid.
Diterbitkan oleh Muassasah ar-Risalah:
Siyar A’lam an-Nubala karya adz-Dzahabi. Terdiri dari 20 jilid.
Al-Ihsan fi Tarqrib Shahih Ibnu Hibban yang disusun oleh al-Amir Alaunddin al-Farisi. Terdiri dari 18 jilid.
Sunan an-Nasai al-Kubra. Penelitian ini bekerja sama dengan Hasan Syalbi. Teridir dari 12 jilid.
Al-‘Awashim wa al-Qawashim fi adz-Dzabbi ‘an Sunnati Abi al-Qasim karya Ibnu al-Wazir.
Sunan at-Turmudzi. Terdiri dari 6 jilid.
Sunan ad-Daruquthni. Penelitian ini bekerja sama dengan Hasan Syalbi. Terdiri dari 5 jilid.
Zaad al-Ma’ad fi Hadyi Khoiri al-‘Ibad karya Ibnul Qayyim. Penelitian ini bekerja sama dengan Syaikh Abdul Qadir al-Arnauth. Terdiri dari 5 jilid.
Tarikh al-Islam karya adz-Dzahabi. Penelitian ini bekerja sama dengan Dr. Basyar ‘Iwadh Ma’ruf. Syaikh al-Arnauth meneliti 4 jilid.
At-Ta’liq al-Mumajjad Syarh Muwaththa Muhammad karya Abu al-Hasanat al-Lakuni. Terdiri dari 4 jilid.
Musnad al-Imam Ahmad terdiri dari 5 jilid.
Al-Adab asy-Syar’iyah wa al-Minah al-Mar’iyah karya Ibnu Muflih al-Hanbali. Penelitian ini bekerja sama dengan Umar Hasan al-Qayyam. Terdiri dari 4 jilid.
Thabaqat al-Qurra’. Penelitian ini bekerja sama dengan Dr. Basyar Ma’ruf. Terdiri dari 2 jilid.
Mawarid azh-Zham-an bi Zawa-id Shahih Ibnu Hibban karya al-Hasyimi. Penelitian ini bekerja sama dengan Ridhwan al-‘Arqasusi. Terdiri dari 2 jilid.
Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyah karya Ibn Abi al-Iz. Penelitian ini bekerja sama dengan Dr. Abdullah at-Turki. Terdiri dari 2 jilid.
Riyadhush Shalihin karya an-Nawawi. Teridir dari 2 jilid.
Al-Marasil karya Abu Dawud. Terdiri dari 2 jilid.
Dua Ulama al-Aranauth
Selain Syaikh Syu’aib, ada lagi ulama lain yang berlaqob al-Arnauth,
yaitu Syaikh Abdul Qadir al-Arnauth. Namun keduanya bukanlah saudara
kandung. Keduanya memiliki kesamaan dari sisi:
Pertama: memiliki laqob al-Arnauth. Al-Arnauth sendiri laqob yang
diberikan kepada orang-orang Balkan yang berasal dari al-Albani. Syaikh
Abdul Qadir lahir di wilayah Kosovo, sedangkan Syaikh Su’aib berasal
dari Albania.
Kedua: keduanya adalah ulama ahli tahqiq yang bekerja sama dengan al-Maktab al-Islami. Ada buku-buku yang mereka teliti bersama.
Porsi dakwah Syaikh Abdul Qadir al-Arnauth lebih besar pada ceramah
dan mengajar. Sedangkan Syaikh Syu’aib al-Arnauth lebih memfokuskan diri
dalam meneliti warisan-warisan Islam.
Wafatnya Sang Ahli Tahqiq
Syaikh Syu’aib al-Arnauth wafat pada hari Kamis
26 Muharram 1438 H bertepatan dengan 27 Oktober 2016. Beliau wafat di
wilayah Yordania pada usia 88 tahun. Rahimahullah rahmatan wasi’atan.
Rujukan:
Buku al-Muhaddits Syu’aib al-Arnauth, Jawanib min Siratihi wa
Juhudihi fi Tahqiq at-Turats oleh Dr. Ibrahim al-Kufihi. Dicetak oleh
Dar al-Basyidr, Oman. Cetakan pertama. Tahun 1423 H/2002 M.
Sebagian besar isi tulisan merupakan terjemah
dari
http://islamstory.com/ar/%D8%B4%D8%B9%D9%8A%D8%A8-%D8%A7%D9%84%D8%A7%D8%B1%D9%86%D8%A4%D9%88%D8%B7