“Sami’na wa`atha’na”, itulah sikap seorang mukmin ketika sampai
kepadanya perintah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sikap
ini sebagai bukti keimanannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan sebagai bukti kecintaannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala .
Memang demikianlah, menjadi keharusan bagi seseorang yang telah
bersaksi Muhammad adalah utusan Allah untuk menerima segala yang telah
menjadi keputusan Rasulullah. Tidak ada lagi pilihan bagi dirinya,
kecuali harus tunduk dan patuh, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak memerintahkan kecuali dalam perintah tersebut mengandung
banyak hikmah. Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang,
kecuali dalam larangan itu terdapat bahaya besar.
Sikap taat, tunduk dan patuh itu selalu menghiasi para sahabat
Rasulullah yang merupakan satu generasi terdidik di bawah naungan cahaya
Nubuwwah. Generasi yang dipuji oleh Allah dan yang terpilih untuk
menemani, serta mendukung dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ
وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ
وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka
sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. [al-Ahzâb/33 : 36].
Ada suatu kisah sangat menarik berkaitan dengan ayat yang mulia ini.
Yaitu kisah seorang sahabat Rasulullah yang bernama Julaibib
Radhiyallahu anhu. Sahabat ini bukan termasuk orang terpandang di
kalangan kaum Anshar. Perawakannya juga kurang bagus. Sahabat ini
termasuk dalam kategori orang miskin, tidak memiliki harta. Meskipun
demikian, beliau sangat dicintai oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam karena ketakwaan yang ada pada dirinya.
Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin
menikahkannya dengan salah seorang putri sahabat Anshar. Maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi rumah sahabat Anshar ini dan
berkata: “Nikahkanlah putrimu denganku”.
Mendengar ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sahabat
tadi tanpa berpikir panjang langsung menerima tawaran Rasulullah. Satu
kesempatan yang sangat berharga, dan suatu kebanggaan tak ternilai
ketika terjalin hubungan dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
. Akan tetapi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan,
bahwa pinangan ini bukan untuk dirinya.
“Kalau begitu pinangan ini untuk siapa, wahai Rasulullah?” katanya dengan penuh tanda tanya.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Untuk Julaibib Radhiyallahu anhu”.
Dengan penuh kebingungan sahabat itu menjawab: “Baiklah, wahai
Rasulullah! Tetapi aku harus bermusyawarah terlebih dahulu dengan
istriku”.
Pergilah sahabat ini menemui istrinya. Terlintas di benaknya, apa
kata orang jika putriku menikah dengan Julaibib Radhiyallahu anhu ?!
Bagaimana martabat keluarganya?!
Setelah bertemu dengan istrinya, iapun menceritakan pinangan
Rasulullah. Dia berkata: “Wahai, istriku. Sesungguhnya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminang putrimu,” serta merta istrinya
menjawab: “Iya, aku sangat setuju”.
“Akan tetapi Rasulullah tidak meminang untuk dirinya, ” jelas sang suami.
“Lantas untuk siapa pinangan itu,” tanya istrinya penuh keheranan.
“Rasulullah meminangnya untuk Julaibib Radhiyallahu anhu ,” tandasnya.
Istrinya menjawab: “Untuk Julaibib Radhiyallahu anhu ? Tidak! Aku tidak setuju. Jangan engkau nikahkan dengannya!”
Mereka enggan memiliki seorang menantu seperti Julaibib Radhiyallahu
anhu yang tidak memiliki apa-apa. Demikianlah, keadaan sebagian orang
tua yang terkadang lebih mengutamakan dunia seseorang dari pada
agamanya.
Percakapan itu ternyata terdengan oleh putrinya. Lantas bagaimana dengan sikap putrinya mendengar pinangan dari Rasulullah?
Tak disangka, ketika bapaknya hendak beranjak pergi untuk menolak
pinangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , terdengarlah suara
dari dalam kamar: “Siapakah yang telah meminangku, wahai ayah?”
Sang ibu kemudian menceritakan bahwa yang meminang adalah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , akan tetapi pinangan itu bukan untuk
dirinya, tetapi untuk Jualaibib,
Ternyata putrinya menjawab dengan tegas: “Apakah kalian menolak
perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Tidakah kalian
mendengar firman Allah
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka. – al-Ahzâb/33 ayat 36- Terimalah pinangan itu, karena ia tidak
akan menyia-nyiakanku. Ketahuilah, aku tidak akan menikah kecuali dengan
Julaibib Radhiyallahu anhu !”
Mendengar penuturan putrinya, maka pergilah sahabat itu menghadap
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sesampai di hadapan
Rasulullah, iapun berkata: “Wahai, Rasulullah! Aku menerima pinanganmu.
Nikahkanlah putriku dengan Julaibib Radhiyallahu anhu “.
Sungguh satu pernyataan yang menunjukkan ketundukan terhadap perintah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Wanita shalihah ini tidak
melihat diri calon pendamping hidupnya, kecuali dengan pandangan agama.
Dia sangat memahami, bahwa kemuliaan dan kebahagiaan hidup seseorang
hanyalah dengan ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Itulah
sikap seorang yang beriman kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam . Perintah Rasulullah selalu didahulukan dari keinginan
pribadinya. Dia yakin, keputusan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam itu yang terbaik. Ya, ilmu selalu membimbingnya kepada kebaikan,
ketundukan kepada perintah Allah dan Rasul-Nya.
Tak terperi, kebahagiaan pun meliputi Julaibib Radhiyallahu anhu .
Istri yang shalihah akan segera menjadi pendamping hidupnya. Kehidupan
baru akan segera ia jalani.
Namun, kiranya angan-angan itu serasa hilang, ketika panggilan jihad
megetuk hatinya. Karena pada saat yang bersamaan, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kaum muslimin agar berjihad di
jalan Allah. Julaibib Radhiyallahu anhu dalam kebimbangan. Ia bingung
manakala harus memilih antara istri shalihah, kebahagiaan, atau mati
shahid yang selama ini dicita-citakannya?! Akhirnya, ternyata kerinduan
terhadap mati syahid di medan perang menjadi pilihannya.
Maka berangkatlah Julaibib Radhiyallahu anhu menuju medan perang. Dia
tinggalkan calon istrinya yang shalihah dan kebahagiaan yang akan
segera ia peroleh, demi menyambut panggilan Rabbnya, yaitu berjihad di
jalan-Nya.
Sudah menjadi kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Beliau sangat memberi perhatian kepada para sahabatnya usai peperangan.
Biasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan siapa saja yang
syahid dalam peperangan itu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabatnya: “Siapa saja yang gugur di jalan Allah?”
Mereka menjawab: ” Fulan dan fulan, wahai Rasulullah”.
Mereka tidak menyebutkan nama yang dicari oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam , yakni Julaibib Radhiyallahu anhu . Maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali menanyakan kepada para sahabat,
dan jawaban mereka sama.
Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berseru: “Sesunguhnya
aku telah kehilangan salah seorang sahabatku, Jualaibib. Carilah ia!”
Para sahabat segera mencari jasad Julaibib Radhiyallahu anhu . Dan
mereka mendapatkan jasadnya tersungkur. Di sekelilingnya terdapat tujuh
jasad orang kafir. Segeralah para sahabat memberitahukan kepada
Rasulullah tentang Julaibib Radhiyallahu anhu , maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam segera menghampiri jasadnya. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di sampingnya dan bersabda: ” Dia
telah membunuh tujuh orang ini, kemudian mereka membunuhnya.
Sesungguhnya, ia adalah aku, dan aku adalah dia”. Rasulullan n
mengucapkannya sebanyak tiga kali. Kemudian, dengan penuh lemah lembut
dan kasih sayang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat
jasadnya dan menyandarkan di lengannya.
Para sahabat mempersiapkan liang lahat untuknya, dan Rasulullah terus
menyandarkan jasad Julaibib Radhiyallahu anhu di lengannya, sampai
akhirnya ia di kuburkan. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatinya.
Itulah akhir kehidupan Sahabat Julaibib Radhiyallahu anhu . Beliau
menutup lembaran-lembaran amalnya dengan mati syahid di jalan Allah.
Lalu, bagaimanakah dengan wanita shalihah yang siap mendampinginya?
Sepeninggal Sahabat Julaibib Radhiyallahu anhu z , wanita itu menjadi
seorang yang kaya raya di kalangan kaum Anshar. Semua itu berkat doa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Yaitu ketika beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa: “Ya, Allah! Curahkanlah kebaikan
untuknya. Dan jangan Engkau menjadikan untuknya kehidupan yang susah”.
Dengan doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, ia
mendapatkan keberkahan dalam kehidupannya. Demikianlah hikmah lantaran
taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Semoga kisah ini
menjadi pelajaran bagi kita. Wallahu a’lam.
Marâji’:
1. Shahih Muslim.
2. Usud al-Ghabah fi Ma’rifati ash-Shahabah.
3. Tafsir Ibnu Katsir.
1. Shahih Muslim.
2. Usud al-Ghabah fi Ma’rifati ash-Shahabah.
3. Tafsir Ibnu Katsir.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XII/1429H/2008M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl9 Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar